EkisPedia.com – Zaman Nabi Muhammad SAW dan Khulafa Ar-Rasyidin merupakan generasi terbaik umat yang menjadi dasar dalam penerapan pengelolaan negara. Pada masa Nabi Muhammad SAW, ini dianggap sebagai penerapan pertama dari ajaran dan nilai-nilai Islam, dan setelahnya pada masa Khulafa Ar-Rasyidin yang telah dipilih, mereka yang telah menerima pesan langsung dari Nabi SAW menjalankan kebijakan mereka dalam menghadapi perkembangan Islam yang luar biasa. Secara geografis cukup luas meliputi negara-negara baru, budaya dan teknologi baru.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak adanya pajak dalam segala bentuk, kecuali zakat yang di resmikan pada tahun kedua hijrah. Sumber-sumber pendapatan pun berasal dari aset tetap milik negara dan pinjaman publik secara wajib dan sukarela.
Sedangkan pada masa Khulafa Ar-Rasyidin, sumber penerimaan publik mengalami perluasan penerimaan bukan pajak yang dihasilkan dari aset tetap publik dibawah pengelolaan negara. Pada masa ini, pondasi dasar untuk sektor publik sedang dibuat, menggambarkan kepemilikan publik dalam konteks Islam, berjalan seiring dengan kepemilikan pribadi.
Sumber pendapatan lain yang diperkenalkan pada masa ini ialah ushr. Yang berarti pajak sepersepuluh dari nilai barang dagangan yang dibawa ke negara muslim oleh pedagang asing non muslim. Monzer Kahf mencatat pada masa ini muncul pelaksanaan transfer zakat dari satu wilayah dalam negara muslim ke wilayah lainnya. Sehingga pada masa ini, negara tidak memungut pajak apapun, sebagian besar karena memang tidak diperlukan mengingat banyaknya sumber daya negara.
Oleh karenanya, ini merupakan upaya yang dapat dicontoh bagi para ekonom untuk merumuskan berdasarkan model Islam pada masa awal. Interpretasi Islam dan teori-teori masalah ekonomi dan keuangan saat ini. Jika dilihat dari sudut pandang prakteknya dibidang ekonomi dan keuangan, masalah ini mengasumsikan sikap yang berbeda yang berasal dari konsep kepemilikan Islam sebagai sarana potensial untuk menghasilkan pendapatan bagi perbendaharaan publik. Jadi masalah memperluas atau membatasi ukuran sektor publik terkait dengan unsur-unsur dasar sistem ekonomi dan keuangan Islam.
Menurut Monzer Kahf, pendapatan publik didefinisikan sebagai semua sumber daya yang diperoleh oleh negara, baik dalam bentuk tunai atau barang, teratur atau tidak teratur, dengan pertukaran atau tanpa itu. Definisi ini mencakup semua jenis bea cukai, pajak, pendapatan dari tanah milik negara, pendapatan dari perusahaan pemerintah, dan pendapatan dalam bentuk barang yang diperoleh oleh negara. Definisi tersebut tidak memberikan pembedaan antara pendapatan yang dibayarkan secara sukarela oleh individu dan yang secara wajib dikumpulkan oleh negara.
Sumber Penerimaan Publik Secara Umum
Dalam struktur Anggaraan Pendapatan Belanja Negara (APBN) terdapat beberapa cara yang digunakan untuk menghimpun dana guna menjalankan pemerintahan, yakni:
Melakukan Bisnis > Pemerintah dapat melakukan bisnis seperti perusahaan lainnya, misalnya dengan mendirikan Badan Usaha Milik Negara. Seperti halnya perusahaan lain, dari perusahaan negara ini diharapkan memberikan keuntungan yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber pendapatan negara.
Pajak > Penghimpunan dana yang umum dilakukan adalah dengan cara menarik pajak dari masyarakat. Pajak dikenakan dalam berbagai bentuk seperti pajak pendapat, pajak penjualan, pajak bumi bangunan dan lain-lain. Pajak yang dikenakan kepada masyarakat tidak dibedakan terhadap bentuk uahanya sehingga dapat menimbulkan ketidak stabilan.
Meminjam Uang > Sebagaimana dipahami sekarang ini pada perekonomian modern, utang merupakan instrumen yang sangat lazim terjadi, sehingga seakan-akan tidak akan ada pembangunan bila tidak ditunjang dengan utang luar negeri. Perlu dipahami bahwa dalam perekonomian saat ini, utang sebagai kebijakan pembangunan bukan hanya timbul akibat kebutuhan yang berlebihan dari pada penerimaan, namun juga akibat kelaziman yang telah mentradisi, sehingga mau tidak mau sebuah negara akan sulit keluar atau bahkan menghindari kondisi utang.
Bagi pemerintah di suatu negara dapat saja meminjam dana dari masyarakat atau sumber-sumber lainnya, namun harus dikembalikan di kemudian hari. Dan masyarakat perlu mengetahui dan mendapat informasi yang jelas bahwa dikemudian hari mereka akan membayar pajak yang lebih besar untuk membayar utang yang dipinjam hari ini. Meminjam uang hanya sementara dan tidak boleh dilakukan secara terus-menerus.
Sumber Penerimaan Publik Secara Islam
Sumber-sumber penerimaan negara di zaman Rasulullah SAW tidak hanya terbatas pada zakat semata, namun ada beberapa pos lain yang tidak kalah pentingnya dalam menyokong keuangan negara, beberapa diantaranya:
Zakat merupakan unsur penting karena sistem penunainya yang bersifat wajib (obligatory zakat system), sedangkan tugas negara adalah sebagai ‘Amil dalam mekanismenya. Pendapatan negara yang berumber dari zakat berupa uang tunai, hasil pertanian dan hasil peternakan.
Ghanimah merupakan pendapatan negara yang didapatkan dari hasil kemenangan dalam peperangan. Distribusi hasil ghanimah secara khusus diatur langsung dalam Alquran surah al-Anfal ayat 41. Empat perlima (4/5) dibagi kepada para prajurit yang ikut dalam perang, sedangkan seperlimanya (1/5) sendiri diberikan kepada Allah, Rasul-Nya, karib kerabat Nabi, anak-anak yatim, kaum miskin dan ibnu sabil. Dalam konteks perekonomian modern, pos penerimaan ini boleh saja menggolongkan barang sitaan akibat pelanggaran hukum antar negara sebagai barang ghanimah.
Khumus atau seperlima bagian dari pendapat ghanimah akibat ekspedisi militer yang dibenarkan oleh syariah, dan kemudian oleh negara dapat digunakan sebagai biaya pembangunan. Meskipun demikian, perlu hati-hati dalam penggunaannya karena aturan pembagiannya telah jelas. Khumus, juga bisa diperoleh dari barang temua (harta karun) sebagaimana terjadi pada periode Rasul
Fay’ adalah sama dengan ghanimah. Namun bedanya, ghanimah diperoleh setelah menang dalam peperangan. Sedangkan, fay’ tidak dengan pertumpahan darah. Menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, harta fay’ adalah pendapatan negara selain dari zakat. Jadi termasuk di dalamnya: kharj, jizyah, ghanmah,’usyur, dan pendapatan-pendapatan dari usaha komersil pemerintah.
Jizyah (pajak perlindungan) Merupakan pajak yang hanya diberlakukan bagi warga negara non-Muslim yang mampu. Bagi yang tidak mampu seperti mereka yang sudah uzur, cacat, dan mereka yang memiliki kendala dalam ekonomi akan terbebas dari kewajiban ini.
Kharaj merupakan pajak khusus yang diberlakukan Negara atas tanah-tanah yang produktif yang dimiliki rakyat. Pada era awal Islam, kharj sebagai pajak tanah dipungut dari non-Muslim ketika Khaybar ditaklukkan. Tanahnya diambil alih oleh orang Muslim dan pemilik menawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian hasil produksi kepada negara. Jumlah dari kharj bersifat tetap, yaitu setengah dari hasil produksi. Kharj ini dibayarkan oleh seluruh anggota masyarakat baik orang-orang Muslim maupun orang-orang non-Muslim.
‘usyur merupakan pajak khusus yang dikenakan atas barang niaga yang masuk ke dalam negara Islam (barang impor). Pada masa Rasul, ‘usyur hanya dibayar sekali dalam setahun dan hanya berlaku pada barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Rasulullah SAW, berinisiatif mempercepat peningkatan perdagangan, walaupun menjadi beban pendapatan negara. Ia menghapusksan semua bea masuk dan dalam banyak perjanjian dengan pelbagai suku menjelaskan hal tersebut. Barang-barang milik utusan dibebaskan dari bea impor di wilayah Muslim, bila sebelumnya telah terjadi tukar-menukar barang.
Infak, Sedekah, dan Wakaf merupakan pemberian sukarela dari rakyat demi kepentingan umat untuk mengharapkan ridha Allah SWT semata. Namun, oleh negara dapat dimanfaatkan untuk melancarkan proyek-proyek pembangunan Negara. Penerimaan ini sangat tergantung pada kondisi spiritual masyarakat secara umum. Diyakini ketika keimanan masyarakat begitu baik, maka penerimaan negara melalui instrumen ini akan besar. Sebaliknya jika keimanan masyarakat buruk, maka penerimaan negara melalui instrumen ini akan relatif kecil.
Demikian beberapa contoh penerimaan publik baik secara umum maupun Islam, jelas kita melihat bahwa dalam Islam tidak ada intrumen hutang dalam penerimaan publik Islam. Islam melarang kita untuk berhutang seperti yang telah terjadi dengan negara ini yang telah mencapai hutang triliunan rupiah.
Wallahu a’lam
Referensi
- Adiwarman Azwan Karim, “Sejarah Pemikran Ekonomi Islam”, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2008, edisi ke-3.
- Gusfahmi, “Pajak Menurut Syariah”, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007.
- Monzer Kahf, “The Early Islamic Public Revenues System: Lessons And Implications”,
- Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, Jakarta, Kencana, 2012
- P3EI UII. 2008. Ekonomi Islam. Rajawali Pers: Yogyakarta