EkisPedia.com – Kebangkitan pemikiran ekonomi Islam mulai bergaung disekitar tahun 1970-an (jauh sebelumnya kita telah mengenal sosok Kahrudin Yunus dengan konsep Bersamaismenya, sekitar tahun 50-an), banyak tulisan berupa karya akademik yang dibuat oleh cendekiawan muslim berkaitan dengan perbankan dan keuangan syariah, sehingga diakhir tahun 80-an aktifitas perbankan syariah mulai menjamur dan masyarakat kita saat ini “hampir” mengasumsikan bahwa ekonomi Islam sama dengan Bank Syariah.
Dalam perjalanannya tentu tidak bisa kita pungkiri bahwa tidak ada yang benar-benar syariah seperti apa yang telah ditulis oleh para ahli, karena pada faktanya dunia nyata tentu berbeda dengan dunia tulisan, namun itu bisa menjadi referensi untuk perbaikan kedepannya. Saat ini kita tidak bisa menyalahkan sistem bahwa sudah syariah atau belum jika sumber daya manusianya sendiri tidak paham syariah. Bagaimana mau syariah jika pimpiman bank syariah rata-rata diambil dari mantan pimpinan bank konvensional? (oke, kita tidak akan membahas itu kali ini, kita skip aja)
Pembahasan kali ini kita akan membahas seputar Riba dan Tiga Pilar Setan dalam Perbankan
Riba
Dalam jurnal yang ditulis Ahmad Kamel ditahun 2006, ia menegaskan bahwa penciptaan uang kertas (fiat money) merupakan bagian dari riba. Islam sendiri melarang dengan keras terhadap praktik riba. Hal ini terjadi karena riba menganggu karakteristik keadilan ekonomi dan sosial. Selain itu, riba merusak implementasi syariah di kehidupan nyata, termasuk dalam mewujudkan perkembangan sistem ekonomi Islam.
Salah satu karakter dari riba adalah daya beli yang ditentukan tanpa mempertimbangkan resiko apapun yang timbul. Contohnya, ketika si A meminjam dana sebesar Rp.1.000.000 kepada si B dengan bunga 10% pertahun. Bunga 10% tersebut adalah sebesar Rp.100.000 yang harus dibayarkan sebagai tambahan dari pokok pinjaman kepada si B tanpa memperdulikan kondisi lingkungan si A (kondisi yang bukan disebakan oleh A, misal pertumbuhan ekonomi yang buruk atau terjadi bencana). Penambahan Rp.100.000 ini disebut riba.
Riba memiliki arti secara literal yakni, bertambah, berkembang, atau tumbuh. Sedangkan secara teknis terkait dengan pembayaran premi yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman disamping pengembalian pokok sebagai syarat pinjaman atau perpanjangan batas jatuh tempo.
Larangan serta kategori riba telah saya bahas dalam tulisan sebelumnya yang berjudul Riba dalam Pandangan Ekonomi Islam
Tiga Pilar Setan
Dalam sistem keuangan yang berbasis suku bunga, baik itu bank pemerintah maupun bank-bank swasta mempunyai peran yang besar dalam penciptaan uang (money creation), yaitu melalui penciptaan kredit berganda (multiple credit creation) dan aktifitas peminjaman (loans) dengan tingkat suku bunga tertentu. Money Creation ini juga dipengaruhi oleh fractional reserve banking system, yang mana terciptanya kredit berganda karena setiap bank umum wajib memiliki cadangan di bank sentral atas sejumlah simpanan masyarakat, yang besarnya bergantung pada kebijakan bank sentral. Selain itu, tingkat suku bunga juga salah satu faktor dari penciptaan uang.
Dengan adanya isu ini, pemerintah mendapatkan manfaat seignorage dengan dikeluarkannya uang fiat (kertas/koin) sedangkan bank mendapatkan manfaat dari seignorage melalui aktivitas pinjaman dengan tingkat suku bungan tertentu.
Seignorage sendiri berarti keuntungan yang diperoleh bank sentral sebagai suatu institusi yang satu-satunya memiliki wewenang untuk menciptakan dan mengedarkan uang kertas.
Oleh karenanya, dalam buku Satanic Finance karangan A. Riawan Amin menggunakan istilah “tiga pilar setan” dalam dunia perbankan yang ketiganya ini juga mempengaruhi sistem moneter konvensional, yakni:
- Uang Fiat
- Suku Bunga
- Fractional Reserve
“Tiga pilar setan” diatas merupakan dasar dari proses money creation oleh sektor perbankan, dimana bank menggunakan alat berupa Fractional Reserve Banking untuk memulai proses ini. Bank menciptakan uang untuk pertama kalinya dengan memberikan pinjaman. Uang pinjaman yang masuk dalam perekonomian ini hanya berbentuk laporan-laporan nominal dari sebuah transaksi tanpa ditopang (backed) oleh komoditas riil. Hal inilah kemudian yang menciptakan isu seignorage tersebut.
Fakta Penting Lainnya
Sebuah fakta penting yang perlu dicatat dari seignorage adalah semua uang yang baru diperkenalkan dalam perekonomian ini umumnya berbentuk pinjaman. Perlu diketahui juga bahwa bank syariah yang mengoperasionalkan kegiatan-kegiatannya dengan menggunakan system Fractional Reserve Banking, juga ikut andil dalam proses money creation. Walaupun bank syariah melaksanakan segala aktivitasnnya sesuai prinsip-prinsip syariah, bank syariah tetap berkontribusi untuk menghasilkan tingkat inflasi yang tinggi dalam suatu perekonomian.
Ada beberapa hal yang menyebabkan peningkatan jumlah uang beredar yaitu uang fiat yang tercipta melalui Fractional Reserve Banking dan tingkat suku bunga yang diberikan oleh bank-bank umum, dimana semuanya hanya berupa perubahan transaksi nilai nominal saja tanpa ditopang komoditas riil.
Dalam peristiwa ini, bank sentral terus meningkatkan jumlah uang beredar untuk memenuhi transaksi-transaksi nilai nominal tersebut, hal ini dilakukan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan dari adanya sistem Fractional Reserve Banking.
Kemudian, dampak yang ditimbulkan dari peningkatan jumlah uang beredar ini adalah tingkat suku bunga dimana hal-hal lainnya dianggap tetap (cateris paribus), akan meningkatkan jumlah uang beredar secara berlebihan, baik dari sisi uang fiat (currency note/ state money) dan pinjaman (bank money).
Referensi:
- Ahamed Kameel Mydin Meera, Moussa Larbani, (2006) “Part I: Seigniorage of fiat money and the maqasid al‐Shari’ah: the unattainableness of the maqasid”, Humanomics, Vol. 22 Issue: 1, pp.17-33
- Dr. M. Umer Chapra, Towards a Just Monetary System (Leicester, UK: The Islamic Foundation 1985) chapter 2 hal. 55-61