Selamat datang di Situs Ensiklopedia Ekonomi Islam

Risywah dalam Islam: Unsur, Hukum dan Macam-Macamnya

EKISPEDIA.COM – Risywah berasal dari kata “rasya, yarsyu, rasywan” yang berarti memberikan uang sogokan (Yunus, 1989).

Secara bahasa berarti “memasang tali, ngomong, mengambil hati”. Sedangkan Risywah menurut istilah adalah praktik pemberian uang atau barang atau iming-iming sesuatu kepada masa (voters) secara berkelompok atau individual, untuk mendapatkan keuntungan politis (political again).

Artinya tindakan money politic itu dilakukan secara sadar oleh pelakunya (Ismawan, 1999).

Risywah atau sogok merupakan penyakit sosial atau tingkah laku yang menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat dan tidak dibenarkan oleh ajaran Islam.

Unsur-unsur Risywah

Adapun yang menjadi unsur/rukun Risywah adalah sebagai berikut (Muhsin, 2001):

  • Penerima Suap, yaitu orang yang menerima sesuatu dari orang lain baik berupa harta atau barang maupun jasa supaya mereka melaksanakan permintaan penyuap, padahal tidak dibenarkan oleh syara’, baik berupa bantuan atau justru tidak berbuat apa-apa.
  • Pemberi Suap, yaitu orang yang menyerahkan harta, uang, atau barang dan jasa untuk mencapai tujuannya.
  • Suapan, yaitu harta, uang atau jasa yang diberikan sebagai sarana mendapatkan sesuatu yang didambakan, diharapkan atau diminta.

Hukum Risywah

Menurut hukum positif ataupun hukum Islam, secara umum risywah adalah suatu yang dilarang (haram) karena akan merugikan orang lain.

Misalnya dalam perkara di pengadilan, salah satu pihak menyuap hakim dengan sejumlah uang yang cukup besar untuk dimenangkan kasusnya, maka ini menjadi haram, karena hakim akan memberikan putusan yang tidak berdasar pada Berita Acara Persidangan (BAP) yang ada dan akan menguntungkan pihak yang melakukan suap.

Selain itu, tindakan risywah juga merupakan dari tindak pidana korupsi, meskipun secara umum korupsi tidak hanya sebatas pada masalah risywah saja, melainkan juga berkenaan dengan penyalahgunaan wewenang (pengkhianatan) secara umum, termasuk di dalamnya penyalahgunaan wewenang yang ada unsur suapnya atau tidak ada unsur suapnya (Mas’udi, et. all, 2003).

Menurut Islam, tentunya hukum risywah tidak lepas dari dasar hukumnya, yaitu Al-Quran dan Al-Hadits.

Akan tetapi secara umum, hukum risywah menurut Islam adalah haram, bahkan tidak hanya hartanya saja, namun juga perantara, pemberi risywah, penerima risywah juga akan dilaknat oleh Rasulullah SAW, berikut dalil-dalil yang menyatakan bahwa risywah adalah haram:

a. Al-Qur’an

وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ

“dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui” (Al-baqarah, 188)

Ayat ini menunjukkan bahwa keputusan hakim itu sesungguhnya tidak dapat merubah sedikitpun hukum sesuatu, tidak membuat sesuatu yang sebenarnya haram menjadi halal atau yang halal menjadi haram, hanya saja sang hakim terikat pada apa yang tampak darinya. Jika sesuai, maka itulah yang dikehendakinya, dan jika tidak maka hakim tetap memperoleh pahala dan bagi yang melalakukan tipu muslihat memperoleh dosa (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 2).

b. Hadits

وَعَنْ ثَوْبَانَ قَالَ :لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ (رواه أحمد و الحاكم)

“Dari tsauban berkata : Rasulullah saw melaknat orang yang menyuap, yang disuap, dan perantara suapan, yakni orang yang memberikan jalan atas keduanya”, [HR. Ahmad dan Hakim] (Qaradhawi, 2003)

Tidak heran kalau Islam mengharamkan suap dan memperkerasnya terhadap siapa saja yang bersekutu dalam penyuapan ini. Sebab meluasnya penyuapan di masyarakat akan menyebabkan meluasnya kerusakan dan kezhaliman.

Macam-macam Risywah

Secara umum, jenis risywah dapat diklasifikasikan menurut niat pemberi riywah. Menurut niatnya, risywah terbagi tiga, yaitu:

1. Risywah untuk membatilkan yang hak dan sebaliknya

Hal ini jelas-jelas diharamkan oleh syara’, karena hak itu kekal dan batil itu sirna. Syari’at Allah adalah cahaya yang menerangi kegelapan yang menyebabkan orang-orang mukmin terpedaya dan para pelaku kejahatan tertutupi dan terlindungi.

Maka, setiap sesuatu yang dijadikan sarana untuk menolong kebatilan dia atas kebenaran itu haram hukumnya.

Misalnya, seorang hakim atau pejabat yang mengambil harta suapan untuk melakukan kebathilan berarti dia telah berbuat fasik karena alasan-alasan berikut (Muhsin, 2001):

  • Ia mengambil harta itu untuk sarana melakukan kebathilan
  • Ia menjatuhkan suatu hukuman secara tidak sah dan tidak benar, dan itu secara qath’I diharamkan.

2. Risywah untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah kezaliman

Banyak alasan mengapa seseorang harus melakukan risywah, salah satunya adalah untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah kebatilan serta kezaliman.

Kalau terpaksa harus melalui jalan menyuap untuk maksud diatas, dosanya adalah untuk yang menerima suap.

Hal ini didasarkan pada kisah Ibnu Mas’ud, ketika ia ada di Habasyah, tiba-tiba ia dihadang oleh orang yang tidak dikenal, maka ia memberinya uang dua dinar, yang kemudian, ia diperbolehkan melanjutkan perjalanan (Muhsin, 2001).

3. Risywah untuk memperoleh jabatan atau pekerjaan

Jabatan atau pekerjaan yang seharusnya diperoleh berdasarkan atas keahlian diri, akan tetapi dalam praktiknya masih terdapat beberapa orang yang mendapatkannya dengan cara-cara yang salah.

Salah satunya dengan memberi suap kepada pihak terkait atau kepada pejabat tertentu dengan tujuan untuk dinaikkan jabatannya atau untuk mendapatkan pekerjaan.

Meskipun Risywah dilarang dalam agama, namun manusia sering melakukan hal-hal tersebut dengan cara kamuflase atau menyamarkan hal tersebut, seperti halnya Hadiah.

Banyak kasus dalam penyelenggaraan pemilu misalnya, seperti praktik-praktik yang berhubungan dengan hadiah namun sebenarnya adalah risywah.

Seperti contoh: memberikan uang tambahan diluar biaya resmi untuk mendapatkan kelancaran pelayanan, memberikan sesuatu agar dimenangkan tendernya, dan memberi sesuatu agar diringankan kewajibannya.

Wallahu a’lam

Referensi:

  • Ismawan,  Indra. Money Politic Pengaruh Uang Dalam Pemilu, (Yogyakarta : Penerbit Media Presindo, 1999), hal. 4
  • Mas’udi, Masdar F. et. all., Fiqh Korupsi Amaman VS Kekuasaan, (Mataram: Solidaritas Masyarakat Transparansi NTB, 2003), hal. 277
  • Muhsin, Abdullah bin Abdul. Suap dalam Pandangan Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), hal. 11 – 12
  • Muhsin, Abdullah Bin Abdul. Jariimatur-Rasyati Fisy-Syarii’atil Islamiyyati (terj. Muchotob Hamzah dan Subakir Saerozi). Jakarta: Gema Insani, 2001
  • Qaradhawi, Yusuf. Halal dan Haram dalam Islam. Hal 271 (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 2003)
  • Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, Juz 2 hal : 362
  • Yunus, Mahmud. Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta : Handika Agung, 1989), hal. 142