EkisPedia.com – Dewasa ini, umat Islam sedang di pertemukan dengan gejala perekonomian baru. Kehadiran ekonomi Islam mendapat sambutan yang cukup meriah. Pasalnya, gagasan baru ini yang akan mampu memberikan solusi atas permasalahan sosial-ekonomi. Pengetahuan baru ini, akan memberikan paradigma yang berbeda dari pemikiran ekonomi yang lebih dulu ada (Kapitalisme dan Sosialisme). Dimana, keduanya dianggap belum mampu memberikan solusi atas problem-problem sosial-ekonomi masyarakat.
Sebelum beranjak pada paradigma ekonomi Islam, mari kita sedikit menelisik kebelakang dari pemikiran ekonomi terdahulu. Hal ini dapat menghantarkan pada perbedaan diantaranya.
Kemunculan pemikiran ekonomi liberal-kapitalis yang dimotori oleh Adam Smith, John Stuart Mill, kemudian David Ricardo ini meletakkan pada individualisme, yang mana menjurus pada kerakusan memperoleh kekayaan. Pemikiran ekonomi sosialis atau sosial yang digagas Robert Owen, mengarah pada manusia tidak mendapat hak atas kekayaan. Kemudian, pemikiran ekonomi komunis yang dimotori oleh Karl Marl bahwa kekayaan dimiliki dan diatur oleh pemerintah.
Kesemuanya memiliki landasan ideologi berbeda sekaligus strategi dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Manifesto atas ideologi tidak dijalankan oleh seorang, melainkan dengan cara membuat jejaring yang luas, pondasi yang kokoh dan kuat. Tindakan itu bertujuan untuk menjadikan yang paling dominan dalam tataran Internasional, Nasional maupun Lokal. Penyebaran melaui instansi, politik, hukum dan sebagainya. Bahkan tidak jarang menuai kekerasan antar kelompok dengan maksud menjadi pemenang dan dianggap paling dapat menjadi jembatan kesejahteraan.
Realitas tersebut, mendorong sebagian kalangan umat Islam memberikan penawaran baru untuk menyelesaikan permasalahan sosial-ekonomi masyarakat. Sebab, gagasan Ekonomi Islam tidak serta merta ada, melainkan memiliki latar historis yang menjadi landasannya.
Ekonomi Islam merupakan suatu disiplin ilmu baru yang nilai-nilainya didasarkan dari sumber Al-qur’an dan As-sunnah. Praktik ekonomi Islam, bila ditilik dari sejarah, sebenarnya telah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW (Ekonomi Profetik).
Paradigma Ekonomi Islam
Telah disinggung mengenai historis singkat diatas. Sebagian kalangan umat Islam merespon yang kemudian disusul mengadakan perkumpulan yaitu Deklarasi Mekkah. Deklarasi Mekkah ini dihadiri dari berbagai latar belakang: akademisi, ahli hukum, praktisi. (Rahardjo, 1987). Hasil dari pertemuan tersebut adalah bahwa ekonomi Islam harus dikembangkan, guna dapat memberikan solusi atas permasalahan yang telah bertahun-tahun mengendap di masyarakat.
Jika ekonomi Islam sebagai disiplin ekonomi modern dianggap lahir pada kisaran tahun 1976-an, maka sebagai suatu pernyataan akademis, politik-ideologis, ekonomi Islam masih sangat kabur menyoal tentang paradigma ekonomi Islam untuk kemudian dikembangkan dan disebarluaskan sebagai wujud atas ketidaksepakatan terhadap pemikiran-pemikiran ekonomi yang terdahulu. Untuk itu, patut sekiranya memberikan ketegasan sebagai pembeda diantara mereka.
Ekonomi Islam memiliki tujuan pemenuhan kepada manusia bukan hanya pada aspek meteriil, melainkan juga pada aspek imateriil. Sebab, apabila hanya salah satu darinya yang terpenuhi, maka ketidakseimbangan akan terjadi. Dan, itu bisa dikatakan sebagai salah satu sumber sebab kerusakan. Untuk itu, paradigma ekonomi Islam harus dapat mencover sehingga kedua dimensi tersebut berhasil terjangkau dan terpenuhi.
Maka, paradigma Ekonomi Islam bisa dibagi kedalam beberapa: Ketuhanan, Kenabian, Khalifah dan Alam Semesta. (Yuliar dan Ismail: 2015). Aspek-aspek itu terpisah, namun merupakan satu-kesatuan.
Paradigma ekonomi Islam, bisa kita pahami suatu pandangan keseluruhan yang didasarkan pada Al-qur’an dan As-sunnah. Jadi, ekonomi Islam dalam memandang segala hal tidak bisa kemudian melepaskan dari-Nya.
Ketuhanan, memberikan penjelasan bahwa semua ini adalah ciptaan dari Allah. Apapun yang dilakukan oleh manusia, harus ditujukan kepada-Nya. Kenabian, manusia yang mendapatkan status sebagai Nabi adalah pilihan. Pilihan ini tentu memiliki kriteria yang bersifat prerogatif yang dianggap mampu mengemban amanah Ilahiyah, menjadi tauladan. Khalifah, manusia sebagai khalifah di muka bumi dibekali akal untuk digunakan sebagai memilih: kebenaran dan kesalahan. Ia harus mampu menjadi pemimpin bagi dirinya, manusia serta menjaga alam. Kerusakan yang terjadi pada alam semesta ini tidak lain adalah dikarenkan ulah dari manusia sendiri.
Paradigma itu harus terinternalisasi dan teraplikasikan pada setiap individu dalam menjalankan aktivitas keseharian. Pandangan itu akan menghantarkan pada keseimbangan, keharmonisan, dan kebahagiaan secara vertikal maupun hoizontal. Sebab, semuanya adalah perintah. Dan, tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah bertemu dengan-Nya.
Wallahu a’lam