Selamat datang di Situs Ensiklopedia Ekonomi Islam

Prof. Azra: Memandang Filantropi Islam

EKISPEDIA.COM – Berpenduduk mayoritas pemeluk agama Islam, dapat menjadi modal besar bagi negara Indonesia. Modal ini bisa menjadi percontohan masyarakat Islam di negara lain. Pencontohan itu bisa dilihat dari aksi sosial-keagamaan yang bertujuan memberi kesejahteraan masyarakat pada aspek spiritul-material. Praktik itu biasa di kenal dengan sebutan filantropi Islam. Namun, praktik ini, masih dipandang kurang begitu maksimal dalam penerapannya. Hal itu, diungkapkan oleh Prof. Azyumardi Azra.

Sudah seminggu yang lalu, bertepatan hari Ahad 18 September, Indonesia kehilangan sosok cendekiawan muslim kondang yaitu Prof. Azyumardi Azra.

Azra, sapaan akrabnya, lahir di Sumatera Barat 4 Maret 1955. Sejak kecil, ia sudah gemar membaca. Sering meminjam buku dari perpustakaan sekolah. Minat mendalami ilmu pengetahuan terlihat serius ada dalam dirinya. Setelah menamatkan pendidikan sekolah menegah atas, kemudian melanjutkan ke Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah) lulus 1982. Setelah lulus, ia mendapat beasiswa Fullbright Magister ke Columbia University, masih di kampus yang sama, ia menempuh studi Doktoral dan mendapat beasiswa Columbia President Fellowship lulus dengan predikat nilai sangat memuaskan.

Azra telihat menonjol ketika menggabungkan diri pada Majalah Pandji Masyarakat (1979-1985). Disitu, ia mulai intens menulis. Selain itu, juga aktif di LIPI dan mendapat gelar Sarwono Awand (2017). Minat pada kajian keilmuan salah satunya ia wujudkan dengan mendirikan jurnal ISLAMIKA (1993) dan kini telah teridex scopus.

Tempat-tempat seperti itu menjadi ajang Azra mendobrak tradisi keilmuan yang ada dan menuangkan gagasan-gagasan baru menyoal sosial, pendidikan, politik, keislaman, keindonesiaan.

Berkat keseriusannya mengurusi persolan-persolan seperti itu dan kontribusi pemikiran yang baru, pada tahun 2010, Azra mendapat gelar kehormatan dari Kerajaan Inggris yaitu Commander of the Order of British Empire (CBE).

Azra, seorang pemikir yang independent. Kokoh dalam prinsip, tidak jarang banyak parpol terpikat dan merayu untuk menjadi anggota, namun ia tolak. Ia lebih memilih menjadi seorang peneliti dan tenaga pengajar.

Komarudin (kompas, 2022) mengatakan bahwa sosok Azra ini patut dijadikan tauladan oleh masyarakat Indonesia. Tauladan yang ditampilkan selalu berendah hati, disiplin, dan terus mengaupgread pengetahuan. Sebab, dari situ dapat memperluas cakrawala pemikiran dan kritis memandang suatu persoalan.

Filantropi Islam

Filantropi secara bahasa berasal dari kata “philos” artinya “cinta” dan “antropos” artinya “manusia”. Dalam Islam, filatropi memiliki kesamaan dengan kata al-‘ata’ al-ijtima’i (pemberian sosial), al-birr (perbuatan baik) dan al-takaful (tolong-menolong).

Secara umum dapat dimaknai bahwa filantropi Islam adalah suatu tindakan saling tolong-menolong dalam kebaikan antar sesama. Bila menilik ke sejarah awal Islam, kita dapat melihat praktik filantropi Islam yang di lakukan oleh Nabi Muhammad SAW, banyak masyarakat kurang mampu terbantukan memenuhi kebutuhan hidup. Praktik tersebut, kemudian dilanjutkan oleh khalifah-khalifah sesudahnya.

Filantropi Islam bila ditelisik secara mendalam merupakan perintah agama Islam. Ayat yang menjadi landasan banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Sebab, Islam mengatur aspek hubungan dengan Allah dan manusia. Filantropi Islam ini bisa dilakukan perorangan atau kelompok.

Seiring berjalannya waktu, praktik filantropi Islam muncul dengan beragam bentuknya. Azra dalam buku “Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII&XVIII” (1994) menerangkan bahwa kelompok ulama saat itu dalam menjalanakan dakwah tidak terlepas dari kedermawanan pengusaha muslim dan pemerintah. Hal itu dilakukan sebagai bentuk doktrin keagamaan dan kepedulian sosial. Sinergitas antar kelompok sosial yang diperlihatkan menunjukkan bahwa penting menjalin keharmonisan untuk mencapai kehidupan yang sejahtera secara materill maupun spiritual.

Azra, dalam buku “Berderma untuk Semua” (2003) memandang Islam sangat mengajurkan kedermawanan, sebab zakat, infaq, sedekah, wakaf itu memiliki cangkupan sangat luas. Sehingga perlu mendapat perhatian dan pengembangan.

Azra, menceritakan secara singkat praktik filantopi Islam yang terdapat pada suatu masa dan wilayah tertentu. Pada Daulah Abbasiyah dan Turki Ustmani, kedua daulah tersebut menujukkan praktik filantropi yang patut untuk dipelajari. Abbasiyah abad 10-11 M mendirikan Madrasah Nizhamiyah, di baghdad. Kemudian Ustmani, menyisihkan anggaran belanja untuk mendanai scholary endowment ke Kairo, Mekkah, dan Madinah. Selanjutnya Universitas Al-Azhar memberikan kontribusi dana filantropi; wakaf, zakat, infaq, sedekah kepada pendidikan, keagamaan, dan sosial. Rentetan peristiwa tersebut menunjukkan bahwa filantropi Islam sebetulnya memiliki peran sangat penting dalam kehidupan masyarakat, ia dapat memberikan kontribusi luar biasa.

Di Indonesia, diskursus filantropi Islam mulai muncul kisaran abad 19-20-an. Namun, secara praktik telah ada, tapi, terbatas. Praktik itu berada pada kekuasaan kerajaan yang kebetulan telah memuluk agama Islam, seperti: Kesultanan Aceh dan Mataram.

Kemudian, di era modern, muncul banyak lembaga yang menjalankan, seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Jami’at Khair, serta Sarikat Islam. Organisasi keagamaan tersebut semakin memperluas praktik filantropi Islam dan memberikan beragam bentuknya. Di sisi lain, sebagai bentuk bahwa Islam telah menjadi agama yang banyak diminati oleh masyarakat.

Setelah kemerdekaan, Azra dalam tulisan “Negara dan Filantropi” (Republika, 2013) mengatakan bahwa filantropi sebaiknya mendapat dukungan pemerintah, sebab, filntropi ini akan dapat memberikan dampak yang luas kepada masyarakat. Pemerintah dapat menyalurkan dana kepada masyarakat dalam berbagai bentuk, dimana, tujuan akhirnya adalah keadilan sosial masyarakat.

Pemerintahan Soekarno misalnya, dukungan itu diperlihatkan dengan membuat UU yang mengatur ZIS, namun tidak berjalan secara maksimal. Pemerintahan Soeharto, lembaga filantropi: Zakat, Infaq dan Sedekah berhasil menjalankan tugasnya sebagai penghimpun dan penyalur kepada masyarakat. Hal itu dibuktikan dengan pembangunan Masjid dan sekolah di Indonesia.

Melihat pentingnya filantropi, pemerintah kemudian meneruskan dengan membuat konsep baru melalui Baznas dan  Wakaf. Kemudian berbagai organisasi keagamaan dan kemsayarakatan juga berbondong mendirikan sebuah lembaga yang memiliki tujuan yang sama. Cangkupan kerja yang dilihatkan kini semakin meluas, tidak hanya pada pendidikan dan masjid/musholla. Hal ini menunjukka bahwa praktif filantropi dari masa ke masa mengalamai perubahan-perubahan. Namun, tidak meninggalkan prinsip-prinsip dasar dan tujuan menciptakan kemaslahatan pada masyarakat.

Filantropi Islam memiliki ruang lingkup cukup luas. Keluasan ini bisa diwujudkan dengan melalui berbagai macam model. Tentu, akan disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan. Sehingga, filantropi Islam tidak monoton. Untuk itu, perlu kiranya peminat filantropi memberikan sumbangsih kepada masyarakat dan negara agar kebutuhan-kebutuhan yang bersifat primer-sekunder bisa terpenuhi. Keterpenuhan ini akhirnya akan berdampak pada keharmonisan kehiudpan di masyarakat.

Wallahu a’lam