Oleh: Dadang Wiratama, M.SEI
Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Lamongan
EKISPEDIA.COM – Terpanggilnya cendekiawan Indonesia, khusus mereka yang memiliki keseriusan pada isu-isu ekonomi Islam. Merasa perlu mengadakan sebuah diskusi dan gerakan untuk merespon kegagalan sistem kapitalisme dan sosialisme.
Kegagalan begitu mencolok pada realitas kehidupan sosial ekonomi negara. Alhasil, sistem alternatif dibangun dan ditawarkan kepada publik sebagai sistem nilai yang berdasar ketuhanan dan berkeadilan. Gagasan itu, di cetuskan oleh seorang akademisi, politisi, cendekiawan yaitu Ahmad Muflih Saefuddin (lebih dikenal dengan nama A.M. Saefuddin).
A.M. Saefuddin lahir di Desa Kudukeras, Kab. Cirebon, Jawa Barat 8 Agustus 1940. Pendidikan formal dimulai di Madrasah Diniyah dan Sekolah Rakyat di Cirebon, 1947-1953. SMP Negeri 1 Cirebon, 1953-1956 dan SMA Negeri Bogor, 1956-1959. Kemudian, melanjutkan ke Fakultas Pertanian Universitas Indonesie yang kini menjadi Institute Pertanian Bogor (IPB), 1966. Kemudian mendapat kesempatan mengikuti pelatihan kepemimpinan ke Jerman dan Swiss 1966-1967, yang kemudian mengantarkannya mendapat beasiswa studi doktoral di Unversitas Justu Liebig, Jerman Barat, 1969-1973.
Sekembalinya dari Jerman. Ia diminta mengabdi di almamaternya. Beserta kawan-kawannya, seperti: Dawam Rahardjo, M Amin Azin, Adi Sasono, dan Abdillah Toha kerap mengadakan diskusi seputar isu-isu ekonomi Islam. Diskusi yang dilakukan sebagai respon atas ketidaksetujuan dan kejanggalan atas iming-iming dari sistem yang telah ada (Kapitalisme-sosialisme). Keberlanjutan dari diskusi tersebut akhirnya terlahir lembaga keuangan bernama Bank Muamalat Islam (BMI). Lembaga eksperimen pertama Indonesia untuk memotong ketergantungan masyarakat pada lembaga keuangan konvensional.
Perhatian terhadap perkembangan Islam memanggil dirinya untuk memperkenalkan agama Islam secara utuh dalam berkehidupan. Untuk menunjang pendalaman dan perkembangan, Saefuddin aktif di Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). Berkat kecerdasan, keuletan dan kekritisan serta kepedulian, menjadikan ia sering diikutkan dan mengikuti konferensi Nasional-Internasional Islam. Kita tahu bahwa pergolakan dan dinamikan politik Islam saat itu sedang memuncak. Saat itu, sistem raksasa yang telah eksis dipandang eksploitatif, tidak memiliki niatan untuk memberantas kemiskinan dan menghilangkan pengangguran. Namun, justru semakin menjerumuskan kehidupan sosial, politik, hukum dan ekonomi.
Menanggapi hal itu, Saefuddin dalam karya berjudul “Desekulerisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi” mengatakan bahwa Islam merupakan agama yang utuh, didalamnya telah termuat ajaran dan pedoman kehidupan serta tanggungjawab hubungan secara vertikal dan horizontal yang bermuara pada kehidupan masyarakat yang harmonis berada pada ruang ketuhanan dan keadilan.
Tidak berhenti disitu, Saefuddin meyakini bahwa melakukan perubahan, harus memasukkan diri dalam perpolitikan praktis. Politik adalah suatu aktivitas yang mulia. Kesadaran itu, membuatnya terpikat masuk pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai tersebut menjadi satu-satunya wadah politik umat Islam Indonesia pada saat itu. Kemudian ia berhasil terpilih untuk menjadi Menteri Pangan dan Holtikulra di era Presiden B.J Habibie tahun periode 1998-1999.
Perjalanan Saefuddin memperlihatkan pada kita bagaimana cara mewujudkan sebuah ide/gagasan. Disini saya bersepakat dengan apa yang dikatakan oleh J. Benda bahwa seorang cendekiawan tidak hanya berkutat pada dunia ide, melainkan juga memiliki kesadaran realitas untuk diberikan sebuah solusi alternatif memecahkan persoalan. Dan, itu ada pada diri Saefuddin. Antara ide dan wujud dilakukan bersamaan demi menjawab persoalan bangsa yang sedang berada dalam kegalauan, ketidakmenentuan arah pada perbaikan kehidupan sosial keagamaan-sosial ekonomi.
Kesibukan tidak menghalanginya untuk selalu produktif menulis pemikiran-pemikiran baru. Disini, saya akan mencatumkan beberapa karya yang menurut sayaa memiliki keseuaian dengan bidang ekonomi Islam: Wawasan Islam dan Ekonomi Sebuah Bunga Rampai (1997), Nilai-nilai Sistem Ekonomi Islam (2000), Empat Pilar Ekonomi Syariah (2016), Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam (1987). Ramadhan, Founder Pusat Dokumentasi Tamadun, kini sedang berusaha mengumpulkan karya yang masih tersebar dan tercecer untuk rencana dibukukan. Hal itu dilakukan sebagai bentuk kepedulian akan rekam jejak cendekiawan A M. (matawartawan.com, 2022).
Filosofis dan Nilai-nilai Ekonomi Islam
Ketertarikan dan pendalaman ilmu pengetahuan ekonomi Islam Saefuddin, tidak datang secara tiba-tiba. Keseriusan dan kepedulian pada kajian keislaman terlihat sejak ia masih muda. Dalam buku biografi “Antara Jerman dan Mekkah” (2011) di ceritakan, Saefuddin ketika sedang menyelesaikan studi di Jerman. Kerap mengajak beberapa teman, membuat kelompok dan berdiskusi untuk menemukan sebuah sistem nilai yang utuh. Meski ia berada pada lingkungan liberal-sekuler, ia tidak menampilkan keterpengaruhan pada pikir dan laku. Justru ia sangat tertarik pada dunia Islam. Dan pada akhirnya, tercetuslah sebuah karya ekonomi Islam.
Ekonomi Islam, dipandang menjadi solusi alternatif. Ekonomi Islam merupakan genealogi yang berawal dari nilai agama. Maka, paradigmanya tidak dapat lepas dari sumber utama Islam. Dalam (Rahmayati, 2021) Saefuddin memberikan landasan filosofis untuk memperkuat pijakan sistem nilai ekonomi Islam. Pertama, kepemilikan absolut, sedang manusia hanyalah sebagai pengelola. Kedua, manusia memiliki kedudukan sama dihadapan Tuhan. Ketiga, kehidupan di dunia hanyalah sementara, maka, manusia harus meyakini secara kuat hari kiamat. Berdasar pada filsafat sistem ekonomi islam tersebut dapat dipahami bahwa aktivitas ekonomi tidak lepas dari ketauhidan dan pertanggungjawaban di hari kelak nanti.
Kemudian, lanjut pada “Nilai-nilai Sistem Ekonomi Islam”, 2000. Dalam buku itu, Saefuddin memberikan 3 (tiga) nilai, yakni:
- KepemilikanManusia tidak dapat secara mutlak memiliki sumber-sumber ekonomi. Manusia hanya dapat memanfaatkan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan. Pemanfaatan ini juga sifatnya terbatas, yaitu ketika manusia masih hidup. Setelahnya, kepemilikan manfaat akan berpindah kepada orang lain. Diperintah dalam firman Allah (Q.S. Al-Maidah:3).
- KeseimbanganManusia dalam mencapai keseimbangan perilaku ekonomi terlihat pada kesederhanaan, berhemat dan menjauh dari keborosan. Hal ini, memuat dua dimensi yaitu untuk kepentingan pribadi dan kepentingan orang banyak. Perintah tersebut terdapat dalam firman Allah (Q.S. Al-Qashash:77), (Q.S. Al-Baqarah: 201), (Q.S. Al-Hasyr:7).
- KeadilanIslam membahas soal keadilan dalam Al-Qur’an cukup banyak. Keadilan baik secara sosial politik dan sosial ekonomi perlu mendapat perhatian dan sikap yang serius. Hal ini lebih difocuskan pada meraka yang memiliki kemampuan atau kelebihan harta untuk disisihkan dan disalurkan kepada mereka yang lebih membutuhkan. Penyaluran dapat berupa zakat, infaq, sedekah. Tindak itu mendasarkan pada firman Allah (Q.S, An-Nisa’:95), (Q.S, An-Nahl: 90)
Landasan filosofis dan nilai-nilai diatas menunjukkan perbadaan yang mencolok pada sistem nilai yang lain. Kapitalis cenderung pada individualistis-liberalis, sedangkan sosialis lebih kepada sentralitas. Secara esensial, keduanya mendasarkan pada rasionalitas, sehingga tidak ada aturan mutlak yang dijadikan acuan. Berbeda dengan ekonomi Islam, semua aktivitas mendasarkan pada sumber mutlak yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist. Untuk mendukung tersebut, maka dibutuhkan pelembagaan nilai, sehingga bisa diwujudkan.
Instrumen Ekonomi Islam
Dalam ekonomi Islam tidak melulu cenderung pada spiritual, namun juga menaruh perhatian pada pemecahan masalah sosial kemasyarakatan. Untuk itu, perlu adanya sebuah instrumen yang dapat menjangkau pada aspek sosial. Saefuddin, menempatkan istrumen dalam ekonomi Islam ada 4 (empat).
Kita tahu bahwa dalam rukun Islam terdapat satu rukun yang berdimensi sosial. Rukun itu adalah zakat. Bagi Saefuddin, zakat dijadikan sebagai instrumen, sebab diyakini dapat memberikan peran penting untuk menyelesaikan persoalan sosial ekonomi masyarakat. Penyaluran zakat yang dilakukan oleh perorangan ataupun kelembagaan diharapkan bisa tepat sasaran. Hal itu telah diberikan pedoman dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Cukup lama, masyarakat Islam bergantung dan tercekik oleh praktik-praktik berkedok peringanan. Pemenuhan kebutuhan hidup manusia semakin hari-semakin banyak dan mahal. Untuk menutupinya akan berusaha semaksimal mungkin buat mendapatkannya. Hal itu dilihat dan ditelisik oleh Saefuddin sebagai praktik riba. Praktik riba ini sebenarnya tidak hanya terdapat pada lembaga, melainkan secara non-lembaga juga ada. Maka dari itu, ekonomi Islam sangat menentang keras praktik riba dalam segala aktivitas ekonomi Islam.
Pemerataan pembangunan suatu negara, bisa didapatkan dan dilakukan dengan berbagai cara. Dalam ekonomi Islam salah satunya adalah wakaf. Saefuddin memandang wakaf sebagai instrumen yang nantinya dapat berkontribusi besar kepada pembangunan infrastruktur negara. Wakaf, mempunyai bermacam bentuk. Hal itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sosial keagamaan.
Instrumen Islam terakhir yang ditawarkan oleh Saefuddin adalah Asuransi Syariah. Pada dasarnya asuransi syariah ini berprinsip saling tolong-menolong (takaful), ketaqwaan, dan perlindungan. Asuransi syariah ini merupakan non-lembaga keuangan dan ruang lingkupnya berskala kecil. Peran asuransi ini nantinya, dapat membantu kepentingan ekonomi mikro masyarakat.
Hingga kini, Saefuddin masih aktif berjuang dan berperan dalam ranah pendidikan, politik dan ekonomi Islam. Perjuangan yang dilakukan patut mendapat perhatian dan menjadi tauladan, setidaknya berada di Indonesia, dan bisa jadi Internasional.
Referensi
- Rahmayati. (2021). Dalam Genealogi Pemikiran dan Gerakan Ekonomi Islam Indonesia. Yogyakarta: IB Pustaka.
- Saefuddin, A M. (2000). Nilai-nilai Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Samudera.
- Saefuddin, A M. (2011). Antara Jerman dan Mekkah. Jakarta: Gema Insani.
- Saefuddin, A M. (2016). Empat Pilar Ekonomi Syariah. Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.