EKISPEDIA.COM – Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia saat ini cukup pesat. Jika awal perkembangan ekonomi Islam identik dengan perbankan syariah, saat ini ekonomi Islam telah berkembang ke berbagai sektor lainnya seperti sukuk, saham syariah, kemajuan filantropi Islam, industri halal dan berbagai sektor lainnya.
Terbaru, pemerintah telah meresmikan brand ekonomi syariah untuk meningkatkan literasi, edukasi, serta sosialisasi ekonomi dan keuangan syariah secara masif. Hal ini tidak telepas dari rendahnya indeks literasi keuangan syariah di Indonesia.
Besar harapannya ekonomi Islam mampu berkontribusi untuk bangsa khususnya dalam upaya menyelesaikan permasalahan ekonomi. Maka dari itu, perkembangan ekonomi Islam harus dilandasi dengan paradigma ekonomi makro maupun mikro yang kuat.
Salah satu permasalahan yang ditimbulkan oleh paradigma saat ini adalah minimnya kesempatan kerja. Bahkan lebih jauh lagi, kondisi saat ini bisa menghalangi seseorang untuk bekerja. Hal ini tidak terlepas dari peran teknologi yang bias pada salah satu faktor produksi.
Biasanya teknologi memiliki bias pada modal (capital). Sehingga akan berdampak pada menyusutnya faktor input lain yaitu tenaga kerja. Bias inilah yang menyebabkan terhambatnya seseorang untuk bekerja.
Dalam Islam, bekerja adalah suatu kewajiban dan sebagai bentuk ibadah. Islam sangat mendorong individu untuk merealisasikan kecukupan baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya. Terdapat beberapa riwayat terkait hal ini, salah satunya riwayat ketika Umar ra menikahkan putranya Ashim. Pada masa awal pernikahan, Umar ra memberikan bantuan nafkah untuk putranya selama satu bulan, setelah itu Umar ra memerintahkan putranya untuk melakukan aktifitas yang bisa membantu mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya.
Umar ra berpendapat bahwa melakukan aktifitas perekonomian apapun lebih baik dari pada meminta-minta atau mengandalkan orang lain dalam mencukupi kebutuhannya. Pentingnya bekerja bagi seseorang, harus dijadikan landasan dalam membangun ekonomi Islam. Maka dari itu perkembangan ekonomi Islam kedepan diharapkan tidak menjadi faktor penghambat seseorang untuk bekerja atau mendapatkan pekerjaan.
Jika perkembangan ekonomi Islam melalui berbagai instrumennya berjalan mengikuti alur sistem yang ada maka ekonomi Islam hanya akan semakin memperbesar masalah perekonomian yang ada. Maka dari itu, perkembangan ekonomi Islam harus diikuti dengan memperkuat konsep khususnya ekonomi makro dan mikro. Terlepas dari berbagai mazhab dan pandangan dalam membangun ekonomi Islam, terdapat nilai universal yang bisa digunakan sebagai pondasi dalam membangun ekonomi Islam, yaitu kesempatan kerja seluas-luasnya.
Terdapat dua cara yang bisa dilakukan, yaitu ekonomi Islam berbasis local endowment dan equipping. Melalui dua hal inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dan konvensional terlihat.
Paradigma ekonomi konvensional menggunakan modal (capital) tenaga kerja (labor) sebagai pertimbangan utama dalam menentukan kegiatan ekonomi. Meskipun tetap menggunakan modal dan tenaga sebagai pertimbangan dalam paradigma ekonomi Islam, kedua hal tersebut didahului dengan mengidentifikasi faktor produksi yang ada di wilayah tersebut.
Ekonomi berbasis local endowment inilah yang diharapkan tidak memarjinalkan sumber daya manusia maupun sumber daya alam yang ada.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mesbahuddin (2010), proyek-proyek pembangunan yang diinisiasi Barat dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal. Ketidaksesuaian tersebut dapat memicu munculnya permasalahan di masyarakat.
Di sisi lain, perkembangan teknologi bukanlah sesuatu yang harus dihindari dalam mengembangkan ekonomi Islam. Akan tetapi, hadirnya teknologi harus dilakukan secara alamiah, konsep inilah yang disebut dengan equipping. Teknologi yang dihadirkan bukan untuk menggantikan tenaga kerja, akan tetapi memfasilitasi pekerja dengan peralatan agar pekerjaan yang dilakukan lebih efisien.
Jika penggunaan teknologi tidak dilakukan secara alamiah, maka perusahaan akan cenderung mendatangkan sumber daya manusia terampil dari luar wilayah tersebut. Maka akan berdampak pada termarjinalkannya sumber daya manusia yang ada di wilayah tersebut.
Penggunaan kedua aspek tersebut memiliki beberapa tujuan. Pertama, tentu upaya ini dilakukan agar sistem ekonomi Islam tidak menjadi penghambat bagi seseorang untuk bekerja atau mendapatkan pekerjaan. Bekerja merupakan sebuah kewajiban dan bernilai ibadah dalam Islam. Maka norma tersebut tidak boleh dilanggar dalam ekonomi Islam.
Kedua, kedua aspek tersebut sangat mendukung ekonomi berkelanjutan atau yang sering disebut dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Sebagaimana yang tertuang dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 11 tentang larangan melakukan kerusakan di muka bumi:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
Artinya: Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”.
Permasalahan lingkungan mulai muncul akibat eksploitasi yang berlebihan serta tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Maka dengan ekonomi berbasis local endowment diharapkan perekonomian yang dilakukan memiliki aspek keberlanjutan.
Ketiga, paradigma ekonomi yang berjalan saat ini menimbulkan ketimpangan ekonomi yang cukup besar di masyarakat. Masyarakat menengah ke bawah memiliki banyak permasalahan ekonomi, sedangkan masyarakat kaya semakin memiliki kesempatan untuk meningkatkan kekayaannya. Maka diharapkan ekonomi Islam mampu hadir sebagai sebuah solusi, bukan menambah ketimpangan yang ada.
Keempat, kedua aspek tersebut berfungsi sebagai kontrol agar perkembangan ekonomi Islam tetap memperhatikan ekonomi menengah ke bawah. Perkembangan di era saat ini baik dalam hal inovasi keuangan maupun teknologi memang harus diikuti oleh instrumen-instrumen dalam ekonomi Islam agar mampu bersaing dengan sistem ekonomi lainnya. Akan tetapi jika hal ini dilakukan hanya untuk sekedar mengikuti tren dan “latah” dengan perkembangan yang ada tanpa pondasi yang kuat dan jelas, maka hanya akan semakin memperlebar jurang pemisah antara ekonomi kelas atas dan menengah kebawah. Tentu masyarakat ekonomi menengah kebawah akan kesulitan mengikuti perkembangan ekonomi yang ada terlebih akses teknologi yang dimiliki terbatas.
Pengembangan instrumen ekonomi Islam memiliki berbagai tantangan. Instrument dalam ekonomi Islam baik lembaga perbankan, lembaga filantropi, dan lembaga keuangan Islam lainnya dituntut untuk tetap mengikuti perkembangan yang ada dengan tetap memperhatikan keberpihakan pada masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Besar harapannya perkembangan ekonomi Islam mampu menjadi solusi bagi masyarakat yang semakin termarjinalkan oleh sistem dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan.
Referensi
- Mesbahuddin, T. (2010). Religion in development: An islamic model emerging in Bangladesh. Journal of South Asian Development, 5(2), 221–241.
https://doi.org/10.1177/097317411000500202 - Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, Yogyakarta: Rajawali Pers PT. Raja Grafindo, 2011