EKISPEDIA.COM – Sebagian penduduk Indonesia, baru saja melangsungkan perayaan hari santri nasional. Perayaan tersebut sebagai bentuk untuk mengingat, mengenang sekaligus meneladani kaum santri yang berjuang dalam kemerdekaan Indonesia.
Dahulu santri tidak hanya berkutat pada kajian kitab-kitab, melainkan jihad melawan penjajah. Kini, situasi sudah berubah, mengharuskan santri dan pesantren berbenah melakukan perbaikan-perbaikan. Selain memperdalam ilmu keagamaan juga melakukan pemberdayaan ekonomi.
Dalam KBBI, santri berarti orang yang sedang menempuh pendidikan untuk mendalami ilmu keagamaan di Pesantren. Secara bahasa, menurut Berg seperti dikutip Dhofir dalam buku “Tradisi Pesantren” (1985), kata santri berasal dari bahasa “Sansekerta” yaitu “Shastri” yang bermakna “orang yang mempelajari kitab-kitab agama”.
Cak Nur dalam buku “Bilik-bilik Pesantren” (1997) kata santri berasal dari bahasa Jawa “Cantrik” yang bermakna “murid yang selalu mengikuti gurunya”. Laksono (2018), kata santri terdiri dari 5 (lima) huruf yang kesemuanya memiliki arti tersendiri yakni “Sin” berarti pelopor kebaikan, “Nun” berarti penerus ulama, “Ta” berarti meninggalkan kemaksiatan, “Ra” berarti ridho Allah, “Ya” berarti keyakinan.
Gus Mus, disebuah ceramah memberikan pengertian santri yaitu orang yang gemar dalam mencari ilmu ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Dari beberapa pendapat diatas, santri adalah seseorang yang gemar, istiqomah dan serius mendalami ilmu keagamaan dan pengetahuan umum kepada seorang guru guna mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pemaknaan santri yang awalnya eksklusif menjadi inklusif.
Kembali pada persoalan diawal, tradisi perayaan Hari Santri yang bertepatan pada 22 Oktober 2022 lalu, melalui peristiwa dan usaha yang cukup panjang. Berbagai polemik saling bermunculan: pro dan kontra. Namun, itu tidak menghalangi Presiden Joko Widodo menetapkan sebagai Hari Santri Nasional.
Berdasarkan Kepres RI No. 22 tahun 2015, keputusan didasarkan pada 3 (tiga) pertimbangan. Pertama, ulama dan santri memiliki peran besar dalam mempertahankan Republik Indonesia. Kedua, sebagai bentuk mengenang, meneladani dan melanjutkan peran ulama dan santri untuk membangun negara. Ketiga, mendasarkan pada “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945.
Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mendeklarasikan “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945 di Surabaya. Deklarasi ini merupakan respon atas tindakan kolonialisme. Resolusi Jihad merupakan bentuk legitimasi Republik Indonesia dan kritik terhadap sikap pasifnya pemerintah. (Bruinessen, 2008).
Deklarasi tersebut berhasil menggugah dan menggerakkan santri, pemuda dan masyarakat untuk berjuang bersama dalam melawan kolonialisme di Indonesia. Peristiwa tersebut menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat umum, khususnya kaum santri, meski situasi kini telah berbeda, namun semangat untuk tetap menjaga dan memperjuangkan martabat Indonesia harus terus dilakukan. Selain itu, pesantren yang menjadi tempat bagi para santri bisa melakukan berbagai cara untuk memberikan bekal tidak hanya bernuasan keagamaan saja, melainkan, ilmu-ilmu pengetahuan umum, khususnya ekonomi kini mulai digerakkan.
Pesantren
Kementerian Agama Republik Indonesia mencatat, data pesantren tahun 2022 berjumlah 27.722-an sedangkan santri 4.175.531, angka tersebut bila dibandingkan pada tahun 2018, pesantren berjumlah 21.921 dan santri 3.227.234. Data tersebut menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan. Pertumbuhan ini perlu disambut dengan gembira. Sebab, selain mengabarkan tingginya minat pada keilmuan agama, juga mengabarkan potensi yang sangat bagus.
Pesantren, sebagai bentuk ciri khas (indigenous) Indonesia. Konon, sebelum kemunculan pesantren, lembaga yang serupa telah ada. Lembaga tersebut dimiliki oleh agama yang lebih dahulu hadir yaitu Hindu-Buddha dan kepercayaan Kapitayan. Lembaga tersebut dijadikan tempat untuk mendalami ajaran-ajaran agama. Baru dikisaran abad ke 13-16-an pesantren muncul. Jadi, pesantren secara kelembagaan, melanjutkan model yang telah ada, namun berbeda dalam pengajaran dan pembelajaran.
Berbicara pesantren, tidak terlepas dari para Wali Songo. Perannya dalam menyebarkan Islam yang kemudian menjadi cikal bakal wajah Islam di Indonesia. Salah satu penyebarannya melalui pesantren yang dibangun oleh Sunan Ampel yaitu Pesantren Ampeldenta. Pesantren ini, mencetuskan santriwan-santriwati yang cerdas dan membantu menyebarkan Islam.
Pondok pesantren yang kian makin berkembang pesat ini. Sepertinya, perlu ada transformasi pendidikan dan pembelajaran dibeberapa aspek. Pondok pesantren di Indonesia secara umum dapat dibagi dua; tradisional dan modern. Pesantren merupakan suatu lembaga yang menjadi tonggak pembelajaran keislaman. Pesantren juga yang masih tetap menjaga tradisi keilmuwan para ulama, kyai dan ustadz.
Kita tahu, pendidikan pesantren pada umumnya berkisar pada: Nahwu-Sharaf, Fiqh, ‘Aqidah, Tasawuf, Tafsir, Hadist dan bahasa arab/inggris serta kitab-kitab klasik. (Madjid, 1997). Dapat dilihat, pada aspek pengetahuan umum masih belum begitu terlihat. Untuk itu, perlu adanya pembaharuan pendidikan yang memiliki fokus pada pemberdayaan ekonomi.
Menteri Agama Republik Indonesia mengesahkan peraturan No. 30 tahun 2020 yang sekaligus mengokohkan fungsi keberadaan pesantren yaitu pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Dalam tulisan ini, tentunya akan membicarakan fungsi yang ke tiga yaitu pemberdayaan masyarakat. Sebab, dipandang memiliki keterkaitan dengan aktivitas pemberdayaan ekonomi.
Pesantren dengan potensi yang sudah ada yaitu (santri, guru dan pondok) menjadi modal penting dalam melakukan pemanfaatan atas sumber daya yang ada. Kemampuan yang dimiliki bisa dikembangkan dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Dengan bekal keagamaan yang telah dimiliki tersebut, akan terasa lebih mudah dalam mentransformasikan dan menjauhkan dari tindakan-tindakan yang akan melanggar syariah Islam. Sebab, pengetahuan dan praktik, keduanya memiliki peran dan fungsi penting agar tetap menjaga norma dan etika dalam berkehidupan.
Kemandirian Ekonomi Pesantren
12 November 2019, pemerintah Indonesia bekerjasama dengan lembaga independen dan beberapa pondok pensantren di Indonesia mendeklarasikan berdirinya Himpunan Bisnis dan Ekonomi Pesantren (HIBITREN).
Organisasi ini dibentuk bertujuan menjadikan ekonomi pesantren yang berdaulat, mandiri dan berdaya saing sebagai basis ekosistem dan sentra pemberdayaan ekonomi syariah.
Terdapat sekitar 129 pesantren di seluruh Indonesia yang hadir dan tergabung dalam deklarasi serta menjadi anggota HIBITREN, tentu jumlah tersebut masih sangat jauh untuk dijadikan sebagai patokan kebangkitan ekonomi pesantren di Indonesia, bila dibandingkan dengan jumlah yang tercata di Kemenag. Namun, meski begitu, upaya yang baru saja dimulai tersebut, perlu mendapatkan apresiasi dan dorongan agar apa yang dicita-citakan dalam deklarasi tersebut bisa diwujudkan secara maksimal.
Tujuan pengembangan ekonomi sebagai bentuk kemandirian pesantren dapat dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama, tujuan kedalam. Melakukan pengembangan ekonomi pesantren di antaranya adalah untuk mewujudkan kemandirian, memelihara dan mengembangkan aset fisik pondok, untuk operasional pondok, dan untuk kesejahteraan. Kedua, tujuan keluar. Adapun tujuan keluar adalah untuk eksistensi pesantren yang memiliki peran sebagai problem solving ekonomi masyarakat, sebab, pesantren dipahami sebagai pelopor kebangkitan umat yang mampu meningkatkan kemandirian dan partisipasi kepada masyarakat sekitar. (Ahmad, 2018).
Apabila pesantren belum memiliki plan kemandirian ekonomi yang akan dilakukan, bisa menjadikan masterplan ekonomi syariah 2019-2024 Indonesia sebagai referensi. Didalamnya terdapat beberapa klaster yang akan digerakkan: Pertama, penguatan nilai halal yang berisi: klaster makanan dan minuman halal, klaster pariwisata halal, klaster fesyen muslim, klaster media dan rekreasi halal dan klaster farmasi dan kosmetik serta klaster energi terbarukan. Kedua, klaster keuangan diambil yang sesuai yaitu jaminal sosial dan zakat dan wakaf. Ketiga, penguatan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
Pesantren yang telah memiliki kemandirian ekonomi seperti Pondok Pesantren Sunan Drajat, Paciran Lamongan. Pondok diasuh oleh Prof Dr KH Abdul Ghofur. Dalam membangun kemandirian ekonomi, Pondok Pesantren membangun unit-unit usaha yang bergerak dalam bidang perdagangan yaitu membangun mini market bernama Toserba. Toserba selain menampung kerajinan para santri dan alumni juga menampung hasil dari masyrakat sekitar.
Kemudian Pondok Pesantren Al-Amin Riu. Kemandirian ekonomi pesantren dilakukan dengan membangun fasilitas budidaya jamur. Dalam satu hari usaha menghasilkan 10-15 kilo jamur yang dijual kepasar. Baik melalui jaringan tradisional atau modern.
Disamping itu, aktivitas ekonomi yang ada di pesantren, bisa memanfaatkan masyarakat sekitar untuk diajak menjadi mitra bisnis. Hal ini, sesuai dengan tujuan ekonomi Islam yaitu memberikan kesejahteran, keharmonisan dan kebahagian. Oleh sebab itu, melalui kemitraan dalam bidang produksi, distribusi diharapkan dapat berkembang secara berkelanjutan.