EKISPEDIA.COM – Hari ini barangkali Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki lembaga pengelola aspek filantropi Islam terbanyak di dunia.
Bagaimana sejatinya histori pengelolaan zakat, infak, sedekah dan wakaf, sebagai dimensi filantropi Islam pada masa lampau?
Jauh sebelum Indonesia berdiri sebagai sebuah negara, pengelolaan filantropi Islam telah ada baik secara apa adanya (tradisional) tanpa regulasi maupun yang tercatat resmi (ter-manage) termasuk pada masa pemerintah kolonial Belanda.
Untuk wakaf sendiri sudah disadari bahwa banyak tempat ibadah (masjid) maupun institusi pendidikan seperti pondok pesantren sudah dihasilkan dari wakaf. Kesadaran tersebut sudah ada tercatat, terutama melalui eksistensi sejumlah pesantren dan masjid yang masih berdiri hingga saat ini menggunakan sokongan dana wakaf. Diakui bahwa praktik implementasi sektor keuangan sosial (filantropi) Islam telah ada pada masa kerajaan.
Terkait zakat, meski pada masa itu belum ditemukan catatan sejarah lengkap yang mengungkap, apakah saat masa kerajaan Islam berdiri telah ada pengelolaan resmi baik secara pungutan maupun penyalurannya. Namun raja-raja Melayu masa lampau diyakini bahwa zakat dan sedekah telah dilakukan dan dikeluarkan yaitu pada saat upacara kerajaan seperti Upacara Kelahiran, Upacara Memotong Rambut atau juga Upacara Membayar Nazar.
Sedekah atau zakat tersebut dikeluarkan dalam bentuk emas, perak bahkan pakaian yang diberikan kepada fakir miskin. Praktik filantropi tersebut masih bersifat tradisional dan melakukan penyaluran zakat (tasaruf) secara sederhana.
Di kepulauan Nusantara sendiri wilayah Aceh tampak memiliki catatan di banding wilayah lain terkait pengelolaan zakat atau filantropi Islam secara umum. Hal itu dimaklumi sebagai kultur masyarakat dan geografis Aceh sendiri yang sejak dulu kental dengan penyebaran Islam generasi awal.
Pada masa Kesultanan Aceh Darussalam menjadikan Mir’at al-Thulab sebagai pedoman resmi (undang-undang) implementasi zakat. Kitab karya Syeikh Abdurrauf as-Sinkili (w. 1693) ditulis atas permintaan Sulthanah Shofiatuddin.
Setidaknya dalam tatanan kerajaan ada 4 klasifikasi lembaga yaitu Hulubalang, Laksamana, Mufti, dan Syahbandar.
Khusus untuk lembaga yang mengurusi perihal zakat diserahkan kepada Mufti melalui penghulu yang bertugas menarik zakat dari masyarakat mampu.
Tradisi masyarakat Aceh dengan menunjuk seorang mufti bukan hanya bertanggungjawab persoalan ritual di masjid semata, namun juga terhadap seluruh aspek ajaran Islam, salah satunya zakat.
Pada masa mulai masuknya kolonialisme, ada sejumlah catatan sejarah tersendiri. Menurut Snouck Hurgronje, dirinya mengungkapkan bahwa zakat maal, zakat fitrah dan sedekah maupun sumbangan keagamaan sosial lainnya telah terlembaga. Meski penekanan seputar zakat termasuk benda/barang apa saja yang sudah wajib zakat (fikih) di masing-masing wilayah berbeda.
Zakat ternak, masih menurut Snouck, tidak pernah ditarik di daerah Jawa dan Madura. Zakat emas dan perak (logam mulia), zakat perdagangan jarang sekali diterapkan. Zakat maal tidak banyak ditemukan di wilayah Jawa namun pembagian zakat maal secara masif dilakukan di Madura.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan banyak atau sedikitnya zakat terkumpul terutama di Jawa. Hal itu disebabkan karena tekanan pajak yang tinggi dianggap sangat berpengaruh, terlebih kepada para petani dengan kewajiban zakat pertanian.
Namun ternyata ada faktor lain dimana suatu daerah dianggap mengumpulkan zakat ataupun sedekah cukup tinggi. Yaitu di Pariangan (Parahyangan) yang menurut Snouck hal itu karena tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat setempat terhadap syariat Islam sudah cukup baik. Sehingga praktik penarikan zakat bisa berjalan lebih mudah diimplementasikan.
Terkait bagaimana sistem penyaluran zakat pada masa kolonial, untuk di Jawa, Snouck menegaskan tidak ada aturan sama sekali. Dalam hal zakat fitrah, terkadang diberikan kepada bidan yang telah banyak menolong proses kelahiran, bisa juga kepada guru ngaji karena telah berhasil mengajari ngaji anaknya.
Menurutnya, paling menarik adalah zakat fitrah hampir sering diberikan kepada kiai setempat/kampung dengan harapan mereka agar mendapat berkah dari sang kiai. Mungkin praktik yang disebutkan terakhir, beberapa tahun belakangan atau bahkan saat ini masih bisa dijumpai di kampung-kampung.
Pemerintah kolonial Belanda sendiri tidak pernah ikut campur secara resmi (terlembagakan) dalam hal pengelolaan zakat atau sumbangan sosial keagamaan. Kebijakan tersebut berlaku bahkan sebelum Snouck menjadi seorang Penasihat Urusan Pribumi dan Islam pemerintah kolonial. Itu terjadi karena pemerintah Belanda khawatir akan melakukan kesalahan mengubah struktur pranata keagaman di masyarakat. Pemerintah Belanda sendiri telah menunjuk penghulu untuk urusan keagaman, namun penghulu tidak diperkenankan mengurus soal zakat fitrah dan zakat maal.
Lebih jelas Karel Steenbrik menjelaskan bahwa praktik di Jawa, zakat dianggap sebagai bagian dari gaji pegawai masjid. Dimana hal tersebut dianggap sebagai pandangan yang umum pada masa itu. Artinya masa itu terjadi pemisahan antara penghulu sebagai pegawai keagamaan milik pemerintahan dengan para pengurus masjid (kiai, guru ngaji, marbot dan lainnya). Dimana penghulu digaji oleh negara dan pengurus masjid cenderung mengandalkan zakat atau sedekah.
Hari ini Indonesia yang telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat terkait pengelolaan dimensi filantropi Islam.
Selain itu masyarakat Indonesia juga menempati sebagai negara paling dermawan di dunia. Situasi tersebut tidak bisa dilepaskan dari kultur masyarakat yang secara tidak langsung sudah dibentuk pada masa kesultanan. Yaitu, termasuk peran para kiai dan ulama pada masanya dengan cara yang sederhana dalam penyampaian. Yakni bukan hanya soal fikih namun juga memberikan pemahaman aspek keberkahan dalam berbagi.
Wallahu a’lam