Selamat datang di Situs Ensiklopedia Ekonomi Islam

Menghidupkan Kembali Tradisi Wakaf Produktif

EKISPEDIA.COM – Penguatan agenda revolusi paradigma wakaf beberapa tahun belakangan di Indonesia sudah sedemikian gencar. Terbaru pemerintah melalui Presisden Jokowi pada tahun 2021 meluncurkan gerakan wakaf tunai sebagai bentuk dukungan konkrit. Terbentuknya Badan Wakaf Indonesia (BWI) tahun 2004 merupakan salah satu bentuk institusionalisasi sekaligus wujud profesionalitas dan keseriusan pemerintah dalam mengoptimalkan potensi wakaf yang dimiliki negeri ini. Edukasi dan sosialisasi juga cukup masif dilakukan mulai dari di kalangan dunia akademis (kampus), generasi milenial hingga masyarakt luas pada umumnya.

Hal itu merefleksikan bahwa begitu besar potensi aspek filantropi Islam yang bersifat endowment ini perlu disegerakan pemanfatannya. Pasalnya selama ini wakaf yang dikenal oleh masyarakat luas (khusunya Indonesia) lebih dikenal sebagai wakaf berbentuk bangunan yang cenderung diperuntukan pada aspek ibadah. Seperti masjid, komplek pemakaman (kuburan), pondok pesantren, ataupun madrasah (pendidikan). Selain itu dalam konteks praktik wakaf produktif di Indonesia dinilai agak tertinggal dibanding negara muslim lainnya seperti Malaysia, Kuwait, Sudan, Arab Saudi, bahkan dengan Singapura yang notabene termasuk negara sekular.

Sehingga para pemangku kebijakan dan sarjana Islam di Indonesia merasa perlu untuk merevolusi pandangan terkait wakaf yang sudah terlanjur mapan sebagaimana yang diterangkan sebelumnya. Dalam tradisi Islam sendiri sejatinya sudah ada dan sejak lama dipraktikan terkait pemanfaatan wakaf yang bersifat produktif. Sudah banyak dibahas dalam literatur sejarah dimana Umar mewakafkan kebunnya (melalui hasil panen) untuk kepentingan umat Islam kala itu. Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah juga sudah banyak wakaf produktif yang dikembangkan.

Menilik abad-abad awal hijriah, sejawaran al-Maqrizi sebagaimana diterangkan Doris Bahren-Abousef dalam “Waqaf in The Arabs Land”, menerangkan bahwa wakaf produktif seperti kolam air yang digunakan untuk pengairan pertanian sudah ada. Hasilnya selain digunakan untuk menjalankan dan pemeliharaan peralatan pengairan juga digunakan untuk memberikan makan fakir miskin. Selain itu dikenal juga wakaf apartemen, ruko, rumah sakit dan tanah pertanian. Hasilnya, dalam kasus wakaf Ibn Thuln, dari wakaf produktif semacam itu ternyata mampu membiayai operasional sarana publik seperti masjid, jembatan dan rumah sakit.

Tidak ketinggalan kisaran abad 16-17 Masehi seperti Dinasti Mamluk yang kemudian beralih kekuasaan ke tangan Dinasti Utsmaniyah, masih meneruskan tradisi yang sama. Dimana di kawasan perkotaan Mesir seperti Kairo dan Fustat tumbuh sumbur wakaf produktif. Yaitu bukan hanya wakaf apartemen dan ruko seperti, melainkan juga wakaf kedai makanan, dapur umum, tempat pemandian. Ada juga wakag berupa mesin-mesin industri seperti alat pembakar roti dan alat pemeras minyak. Wakaf kedai kopi pada masa itu dinilai sebagai primadona (Abu Bakar & Bamualim ed, 2006).

Di belahan dunia lain seperti di Afrika Utara dan Spanyol, dimana kekuasaan Islam masih berkuasa, corak wakaf produktif juga masif dipraktikan. Carmona dalam “Waqf in Muslim Spain Wakaf” memaparkan, wakaf seperti kandang kuda, pabrik-pabrik pemintalan, tempat pembuatan sabun dan penginapan sudah dikenal luas. Hasil dari wakaf tersebut biasanya diperuntukan untuk masjid, pemakaman, madrasah dan rumah sakit. Selain itu penerapan wakaf tradisional yang masih populer seperti wakaf ahli (wakaf keluarga), dimana pengelolaan wakaf diserahkan dan diperuntukan turun-temurun serta bersifat terbatas, juga menimbulkan kritik. Musababnya tidak jarang wakaf tersebut tidak efektif dan minim dampak. Di sejumlah negara misalnya Mesir, Libia dan Syria telah terdapat regulasi yang melarang wakaf keluarga. Mesir, UU No.180 Tahun 1952 melarang pendirian wakaf ahli, pun demikian di Libia melalui UU No.16/1973 dan Syria UU No.76/1949 yang memberlakukan penghapusan wakaf non-publik (Abu Bakar & Bamualim ed, 2006).

Salah satu optimalisasi agar terwujudnya wakaf produktif dalam hal ini disinergikan pula dalam bentuk wakaf tunai (uang). Terlepas dari terjadinya perbedaan definisi antara wakaf uang dan wakaf melalui uang (biasa dikenal juga infaq lil waqaf), yang jelas dari keduanya memungkinkan terwujudnya wakaf produktif. Wakaf tunai sendiri sejatinya bukanlah hal yang baru sama sekali, meski wakaf tunai tidak dikenal (tidak membolehkan) dalam Madzhab Syafi’i sebagai madzhab yang banyak dianut di Indonesia. Sejarah wakaf tunai dalam Islam sudah pernah ada dan jaya pada masa Turki Utsmani. Kisaran abad ke-16 mereka telah menerapkan praktik wakaf tunai. Termasuk pada abad berikutnya yang kemudian diadopsi oleh sejumlah negara Arab. Kemudian pada abad ke-20 praktik tersebut mulai dikenal dan diimplementasikan masif di negara seperti Mesir, Pakistan, Malaysia, Sudan hingga Singapura. Bentuknya yang cenderung fleksibel, menjadikan wakaf tunai banyak dilirik dan digencarkan oleh sejumlah negara muslim. Salah satunya dikarenakan penggunaan dan pemanfataanya yang dimungkinkan lebih luas.

Hal inilah yang seharusnya diimplementasikan di Indonesia. Meski sudah ada model pengelolaan semacam itu, namun eksistensinya belum begitu masif dibanding potensi yang ada. Sehingga masjid misalnya, bukan hanya mengandalkan kotak infak guna pembiayaan operasionalnya melainkan dari hasil wakaf produktif. Singapura contohnya, selain banyak negara lain juga, menjadi salah satu yang berhasil dalam kelolaan wakaf produktif salah satu sumbernya berbasis wakaf tunai.

Karena dengan pengelolaan dana wakaf yang kreatif (tetap dalam prinsip syariat), sarana tempat ibadah seperti masjid akan berpotensi lebih makmur termasuk para Imam jamaah, muadzin, marbot atau petugas kebersihan lebih mempunyai harga diri. Semua kegiatan masjid bahkan bisa didanai dengan hasil dari wakaf produktif tersebut. Alhasil kotak infak hanya menjadi sarana tambahan bukan sebagai sumber pendanaan inti dari masjid. Sehingga wakaf produktif bukan hanya mampu secara eksplisit membiayai sarana dan tempat ibadah semata namun juga mampu bermanfaat lebih luas.

Penyebaran Islam di kepulauan nusantara yang damai melalui jalur perdagangan disinyalir ikut mempengaruhi meredupnya tradisi wakaf produktif. Dimana dominan wakaf menjadi identik dengan yang bersifat sarana dakwah keagamaan. Pengaruh setting sosial-ekonomi perkotaan yang dibentuk oleh penguasa sebelumnya (Hindu-Budha) cenderung diteruskan saat kekuasaan Islam masuk. Sehingga tidak pernah ada wakaf dari penguasa Islam di Nusantara berbentuk penginapan, gedung pertokoan, gudang perdagangan, alat industri dan semacamnya sebagaimana di kenal di belahan dunia Islam yang lain. Karena fokus utama para raja Islam dan sultan di Nusantara lebih kepada pembangunan masjid, makam, dan cikal bakal pesantren (Abu Bakar & Bamualim ed, 2006). Sehingga karena faktor sejarah di nusantara, kesadaran wakaf produktif itu sempat tereduksi dan meredup.

Selain itu masih sedikitnya aset wakaf produktif khususnya yang benar-benar berhasil mungkin menjadi salah satu faktor kendala mempromosikan wakaf produktif itu sendiri di masyarakat. Pasalnya contoh konkret sebagai role model bentuk wakaf produktif dimungkinkan akan lebih berdampak bagi masyarakat ketimbang teoritis semata. Sehingga edukasi, sosialisasi dan populerisasi wakaf produktif saat ini sama saja artinya menghidupkan kembali tradisi bentuk wakaf generasi awal. Maka sudah selayaknya revitalisasi wakaf produktif menjadi hal yang sangat penting. Mengingat perannya yang bisa menjadi salah satu fondasi kemajuan perekonomian bangsa dan kesejahteraan masyarakat.

Wallahu a’lam