Selamat datang di Situs Ensiklopedia Ekonomi Islam

Spirit Ekonomi Islam di Era Pragmatisme

EKISPEDIA.COM – Di era saat ini, pola pikir memainkan peran penting dalam menjalani kehidupan utamanya dalam menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks. Pola pikir akan menentukan sikap atau tindakan apa yang akan diambil dalam merespon sesuatu. Salah satu pola pikir yang berkembang dan banyak diyakini banyak orang adalah pragmatisme. Meskipun secara konsep awal cukup baik karena mengedepankan segi kepraktisan dan kemanfaatan, dalam perkembangannya pragmatisme dekat dengan kepraktisan dalam mencapai tujuan pribadinya. Kepraktisan tersebut akan membawa seseorang untuk menghalalkan berbagai cara agar tercapai tujuan yang diharapkan.

Tentu pengembangan ekonomi Islam tidak boleh terjebak pada isu pragmatisme. Terdapat nilai-nilai yang harus dijaga dan menjadi prioritas dari pada sekedar memberikan label “syariah” pada berbagai produk turunannya. Hal ini tidak terlepas dari firman Allah dalam Q.S. Ar-rum ayat 41 yang mengingatkan bahwa kerusakan di muka bumi disebabkan karena ulah manusia:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Ayat tersebut memiliki korelasi dengan sikap pragmatisme. Sikap ini akan membawa seseorang mengesampingkan isu-isu lingkungan, mengesampingkan hak orang lain, dan berbagai sikap lainnya. Pengembangan ekonomi Islam tidak boleh hanya berhenti pada penyematan label “syariah” pada berbagai produk turunannya. Lebih dari itu, penguatan nilai-nilai ekonomi Islam harus terus dilakukan agar masalah moral hazard dapat dihindarkan. Hal ini dapat dijelaskan dalam hadits di bawah ini:

“Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam berkata, ‘Orang ketiga juga berdoa, ‘Ya Allah dulu aku punya beberapa pegawai. Gaji aku berikan kepada mereka. Namun, ada satu pegawaiku yang berhenti bekerja kepadaku. Dia pergi meninggalkan jatah gajinya. Gaji itupun aku kembangkan hingga manghasilkan banyak harta. Setelah beberapa waktu, pegawai itu datang menemuiku. Ia menagih padaku, ‘Wahai hamba Allah, aku ingin mengambil gajiku yang belum aku ambil dahulu. ‘Maka aku menjawab, ‘Semua yang kamu lihat ini, berupa unta, sapi, kambing, dan budak adalah gajimu yang belum kamu ambil. ‘Maka ia menjawab, ‘Wahai hamba Allah! Jangan bercanda denganku!’ Aku menjawab, ‘Saya tidak bercanda denganmu.’ Kemudian semua harta diserahkan pada si pegawai tanpa sisa sedikitpun. (muttafaqun ‘alaih. H.R. Bukhari no.2272 dan Muslim no.2743)

Hadits di atas merupakan penggalan hadits panjang tentang kisah tiga orang yang terjebak dalam gua. Ketiganya bertawasul dengan amal sholeh yang pernah dilakukan agar bisa keluar dari gua. Hadits di atas merupakan tawasul amal sholeh orang ketiga.

Orang ketiga tersebut merupakan seorang juragan yang memiliki pegawai. Pada masa itu sudah berlaku gaji bulanan. Akan tetapi salah satu pegawainya pergi tanpa memberikan informasi apapun khususnya berapa lama dia pergi dan kepada siapa gajinya harus dititipkan. Setelah beberapa waktu, gaji pegawai tersebut mengendap. Oleh si juragan, gaji tersebut diinvestasikan dalam bentuk hewan ternak. Setelah dikelola, gaji tersebut berkembang menjadi unta, sapi, kambing, dan memiliki budak. Hal luar biasa terjadi setelah si pegawai datang untuk mengambil gaji yang belum diambil. Dengan suka rela si juragan memberikan gaji yang menjadi haknya beserta seluruh hasil investasi dari gaji tersebut.

Kisah dalam hadits di atas cukup menjelaskan bahwa penguatan nilai-nilai ekonomi Islam mampu menghindarkan dari kerusakan atau masalah akibat moral hazard. Jika masalah moral hazard hadir dalam kisah tersebut, maka banyak peluang yang bisa dilakukan agar si juragan tetap menikmati hasil investasi yang dilakukan dari gaji si pegawai. Bisa saja si juragan menolak memberikan gaji si pegawai karena meninggalkan pekerjaan tanpa memberikan informasi apapun. Bahkan jika harus tetap memberikan gajinya, si juragan bisa saja tidak memberi tahu jika gaji tersebut telah diinvestasikan agar keuntungan yang telah diperoleh tidak berkurang sedikitpun.

Banyak pelajaran yang bisa di ambil dari sepenggal kisah tersebut. Keikhlasan si juragan yang merelakan jerih payahnya mengelola investasi; sikap amanah si juragan dalam menjaga hak orang lain; memberikan hak orang lain sesuai haknya; menginvestasikan dana yang mengendap agar lebih bermanfaat. Akan tetapi, di era saat ini berapa banyak orang yang mengambil jalan berlawanan dengan si juragan, bahkan oleh oknum berlabel “syariah”?

  • Harta yang kita peroleh dengan cara bathil tidak akan berubah menjadi halal hanya dengan disimpan dengan label “syariah”
  • Tidak ada jaminan keberkahan jika modal dengan label “syariah” dialokasikan melalui cara bathil
  • Banyaknya harta yang disimpan dengan label “syariah” akan jauh dari keberkahan jika hak orang lain belum tersampaikan

Wallahu a’lam