EKISPEDIA.COM – Abu ‘Ubaid dilahirkan di Bahrah (Harat), di provinsi Khurasan (Barat Laut Afghanistan) pada 154 H dari ayah keturunan Byzantium, Maula dari suku Azd.
Nama aslinya al-Qosim ibn Salam ibn Miskin ibn Zaid al-Azdhi dan wafat tahun 224 H di Mekkah. Ia belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qiraah, tafsir, hadis, dan fikih (tidak dalam satu bidang pun ia bermazhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Setelah kembali ke Khurasan, ia mengajar dua keluarga yang berpengaruh.
Pada 192 H, Thabit ibn Nasr ibn Malik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk provinsi Thughur) menunjuknya sebagai qadi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya.
Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudamah Assarkhasy mengatakan:
“Di antara Syafi’i, Ahmad Ibn Hambal, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid, Syafi’i adalah orang yang paling ahli di bidang fikih (fakih), Ibnu Hambal paling wara’ (hati-hati), Ishaq paling huffadz (kuat hafalannya), dan Abu ‘Ubaid yang paling pintar bahasa Arab (ahli Nahu)”.
Sedangkan menurut Ibnu Rohubah:
“Kita memerlukan orang seperti Abu ‘Ubaid, tetapi dia tidak memerlukan kita”.
Dalam pandangan Ahmad ibn Hambal, Abu ‘Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Menurut Abu Bakar ibn Al-Anbari, Abu ‘Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3-nya untuk tidur, 1/3-nya untuk shalat malam dan 1/3-nya untuk mengarang. Bagi Abu ‘Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya daripada menggoreskan pedang di jalan Allah.
Menurut Ishaq, “Abu ‘Ubaid itu yang terpandai di antara aku, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal”.
Dari pendapat-pendapat tersebut terlihat bahwa Abu ‘Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di antara para ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan para imam besar sekaliber Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal.
Kesejajarannya ini membuat Abu ‘Ubaid menjadi seorang mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab tertentu. Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu Nahwu, qiraah, fikih, syair, dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal dalam bidang fikih.
Kitab al-Amwal dari Abu ‘Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam.
Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijriah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi. Dalam bukunya tersebut Abu ‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain, tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.
Agak sulit melacak latar belakang kehidupan Abu ‘Ubaid, tetapi dari beberapa literatur yang ada mengatakan beliau hidup semasa Daulah Abbasyiyah, mulai dari Khalifah al Mahdi (158H/775M).
Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di bidang ekonomi, Abu ‘Ubaid (224H/834M), Imam Ahmad ibn Hambal (164–241 H/780–855 M) serta Harist ibn Asad al Muhasibi (165–243 H/781–857 M). Sedangkan, pada masa Abbasiyah pertama ini secara keseluruhan ditemukan lebih dari 200 orang pemikir yang terdiri atas selain fuqaha juga filosof dan sufi.
Masa Abbasiyah ini merupakan puncak kegemilangan dunia Islam atau masa renaissance. Sebagaimana diketahui bahwa dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasyiyah dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja’far al-Manshur. Puncak keemasan dari dinasti ini terletak pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu: al-Mahdi (775–785 M), al-Hadi (775–786 M), Harun al-Rasyid (786–809 M), al Makmun (813–833 M), al-Mu’tashim (833–842 M), al-Wasiq (842–847 M), dan al-Mutawakkil (847–861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan meningkatnya hasil pertambangan seperti emas, perak, tembaga, dan besi dengan Bashrah sebagai pelabuhan yang penting. Baghdad merupakan kota kosmopolitan saat itu, penduduknya sangat heterogen dari berbagai etnis, suku, ras, dan agama.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya pada zaman khalifah Harun al-Rasyid (786–809 M) dan putranya al-Makmun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan ke budayaan, serta kesastraan berada pada zaman keemasannya.
Penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab pun dimulai. Orang-orang dikirim ke Kerajaan Romawi, Eropa untuk membeli “manuscript”. Pada mulanya hanya buku-buku mengenai kedokteran, kemudian meningkat mengenai ilmu pengetahuan lain dan filsafat. Ia juga banyak mendirikan sekolah.
Salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
Dinasti Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayah.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang pengetahuan, tetapi juga ilmu pengetahuan agama.
Dalam bidang tafsir dikenal dua metode, yaitu: pertama, Tafsir bi al-Ma’tsur (interpretasi tradisional bersumber dari Nabi dan para sahabat). Kedua, Tafsir bi al-Ra’yi (metode rasional yang lebih banyak bertumpu pada pikiran daripada hadis dan pendapat sahabat).
Imam mazhab empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanîfah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang kehidupan masyarakatnya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadis. Muridnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun ar-Rasyid.
Berbeda dari Abu Hanîfah, Imam Malik (713–795 M) banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh ini ditengahi oleh Imam Syafi’i (767–820 M) dan Imam Ahmad ibn Hambal (780–855 M). Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, dan sejarah.
Dalam lapangan astronomi dikenal dengan nama al-Fazari, sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolabe. Dalam kedokteran dikenal nama ar-Razi dan Ibnu Sina. Dalam bidang optik Abu ‘Ali al-Hasan ibn al-Haitami, yang di Eropa terkenal dengan nama Alhazen. Di bidang matematika terkenal dengan nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu Aljabar. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas’udi, yang juga ahli dalam ilmu Geografi.
Abu ‘Ubaid adalah salah seorang dari para fuqaha yang menggeluti bidang ekonomi dalam hal aturan keuangan publik. Ia juga banyak menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan selama di Tarsus, di sana ia memperlihatkan ke mampuannya dalam hal administrasi dan pencatat diwan resmi. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Persi ke bahasa Arab menunjukkan bahwa ia banyak menguasai bahasa tersebut.
Menurut Gottschalk, pemikiran Abu ‘Ubaid kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abu ‘Amr ‘Abdurrahman ibn ‘Amr al-Azwa’i karena seringnya pengutipan kata-kata ‘Amr dalam al-Amwal, serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syuriah lainnya selama ia menjadi pejabat di Tarsus.
Awal pemikirannya dalam kitab al-‘Amwal dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu ‘Ubaid terhadap militer, politik, dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan di provinsi-provinsi perbatasan pada masanya.
Berbeda dari Abu Yusuf, Abu ‘Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistemis dan penanggulangannya. Namun, kitab al-‘Amwal dapat dikatakan lebih kaya dari kitab al-Kharaj dari sisi kelengkapan hadis serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat, tabi’în, serta atba’ at-tabi’în. Abu ‘Ubaid tampaknya lebih menekankan standar politik etis penguasa (rezim) daripada membicarakan syarat-syarat efisiensi teknis dan manajerial penguasa.
Filosofi Abu ‘Ubaid lebih kepada pendekatan teknis dan professional berdasarkan aspek etika daripada penyelesaian per masalahan sosio-politis-ekonomis dengan pendekatan praktis. Dengan tidak menyimpang dari tujuan keadilan dan keberadaban, yang lebih membutuhkan rekayasa sosial.
Abu ‘Ubaid lebih mementingkan aspek rasio/nalar dan spiritual Islam yang berasal dari pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai individu maupun masyarakat. Atas dasar itu Abu ‘Ubaid menjadi salah seorang pemuka dari nilai-nilai tradisional, pada abad ke-3 Hijriah/abad ke-9 M, yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan berdasarkan Alquran dan al-Hadis.
Dengan kata lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum berasal dari sumber-sumber yang suci, Alquran dan Hadis mendapatkan tempat eksklusif serta terekspresikan dengan kuat pada pemikirannya.
Meskipun fakta menunjukkan bahwa Abu ‘Ubaid adalah seorang ahli fikih yang independen, moderat, dan andal dalam berbagai bidang keilmuan, beberapa ulama Syafi’i dan Hambali mengklaim bahwa Abu ‘Ubaid adalah berasal dari kelompok mazhab mereka. Tetapi, dalam kitab al-Amwal tidak ada disebut nama Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i maupun nama Ahmad ibn Hambal, melainkan ia sangat sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama mazhab Syafi’i lainnya. Ia juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanîfah, Abu Yusuf, dan Muhammad ibn al-Hasan Asy-Syaibani.
Sementara itu, tuduhan yang dilontarkan oleh Husain ibn Ali al Karabisi seperti yang dikemukakan oleh Hasan ibn Rahman ar-Ramhurmudzi, bahwa Abu ‘Ubaid melakukan plagiat terhadap kitab fikih karyanya dari pandangan dan persetujuan asy-Syafi’i, adalah sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya.
Hal itu bukan hanya karena Abu ‘Ubaid dan asy-Syafi’i belajar dari sumber yang sama, tetapi mereka juga belajar satu sama lain, sehingga tidak mustahil terdapat kesamaan atau hubungan dalam pandangan-pandangan mereka. Bahkan, kadang kala Abu ‘Ubaid mengambil posisi yang berseberangan dengan asy-Syafi’i tanpa menyebut nama.
Sumber: Buku Pintar Ekonomi Syariah – Ahmad Ifham Sholihin