Selamat datang di Situs Ensiklopedia Ekonomi Islam

Zakat Minyak dan Gas Bumi di Malaysia

Judul Makalah: Menetapkan Zakat Minyak dan Gas Bumi di Malaysia: Sebuah Wawasan Baru

Penulis: Pg Mohd Faezul Fikri Ag Omar, Haneffa Muchlis Gazali, Mohd. Nasir Samsulbahri, Nurul Izzati Abd Razak, Norhamiza Ishak.

Penerbit: ISRA Jurnal Internasional Keuangan Islam, Vol. 13 No. 3, 2021.

Tujuan dari makalah ini adalah untuk membahas pembentukan zakat minyak dan gas di Malaysia. Seperti halnya emas dan perak, minyak dan gas adalah mineral berharga, yang pada saat diekstraksi, harus dikenai zakat. Namun, di Malaysia, hal ini tidak terjadi.

Para penulis berpendapat bahwa penghitungan Zakat untuk minyak dan gas dapat melibatkan penyesuaian Nisāb, tetapi tidak dengan Hawl (persyaratan kepemilikan aset selama satu tahun penuh), dengan analogi dengan Zakat hasil pertanian.

Para penulis merekomendasikan bahwa undang-undang yang komprehensif diperlukan untuk menyempurnakan sistem minyak dan gas Malaysia, khususnya yang berkaitan dengan Zakat.

Para penulis mendasarkan pendapat mereka pada dua pakar hukum kontemporer abad ini, yaitu Yusuf Al-Qaraḍāwī dan Wahbah Al-Zuḥailī. Sebagai mineral cair yang sangat berharga, minyak dan gas bumi harus dikenakan zakat.

Untuk menentukan nilai zakatnya, kedua mineral tersebut harus berada dalam kondisi asli setelah ekstraksi sebelum diperdagangkan di pasar. Nilai yang melekat pada minyak dan gas adalah alasan utama ekstraksi mereka.

Para cendekiawan Muslim memang telah membahas tentang zakat mineral, tetapi tidak secara khusus pada minyak dan gas. Konsensus umum adalah bahwa zakat berlaku untuk semua bentuk mineral, yaitu batuan padat atau cair.

Al-Qaraḍāwī dan Al-Zuḥailī menyatakan bahwa minyak dan gas bumi termasuk dalam kategori barang tambang, sehingga zakatnya wajib dikeluarkan. Al-Qaraḍāwī menambahkan bahwa minyak disebut sebagai “emas hitam”, yang menekankan nilainya, dan ia percaya bahwa jika para ulama terdahulu mengetahui nilainya yang luar biasa, mereka akan mencapai kesepakatan yang kuat tentang bagaimana zakat dikenakan padanya.

Al-Qaraḍāwī kemudian merangkum pendapat para ulama tentang masalah ini menjadi tiga kesimpulan.

Pendapat pertama dari Mazhab Shāfi’ī, yang menyatakan bahwa “barang tambang”, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, secara khusus merujuk pada emas dan perak, dan karenanya, zakat barang tambang hanya dapat dikenakan pada keduanya.

Pendapat kedua adalah pendapat Abu Ḥanifah yang menyatakan bahwa barang tambang yang wajib dizakati hanyalah barang tambang yang diambil dari dalam bumi dan kemudian dilebur, dan ini disimpulkan sebagai emas dan perak.

Pendapat ketiga adalah mazhab Ḥanbalī, yang menyatakan bahwa zakat berlaku untuk semua jenis dan bentuk barang tambang yang diambil dari bumi. Al-Qaraḍāwī lebih cenderung mengikuti pendapat ketiga, yang menurutnya lebih dekat dengan penjelasan dalam Al-Qur’an.

Al-Zuḥailī juga mendukung pendapat Ḥanbalī yang menyatakan bahwa zakat tidak dapat dikenakan pada semua barang tambang yang cair.

Menurutnya, ada dua syarat yang harus dipenuhi agar zakat dapat dikenakan pada barang tambang: pertama, barang tambang tersebut harus mencapai nisāb setelah dibersihkan dari residu, dan kedua, pembayar zakat haruslah seorang Muslim.

Kadar zakat yang wajib dikeluarkan untuk semua barang tambang juga terbagi menjadi tiga pendapat.

Pendapat pertama adalah pendapat Abu Ḥanifah, yang menyatakan bahwa kadar zakatnya adalah 20% (seperlima) berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW. yang menyatakan bahwa “seperlima wajib dikeluarkan dari rikāz.” Beliau menegaskan bahwa rikāz dan barang tambang tidaklah sama, namun keduanya merupakan barang berharga yang ditemukan di bawah tanah, sehingga kadar zakatnya pun sama.

Pendapat kedua adalah pendapat Imam Syafi’i, yang menyarankan kadar 2,5% dengan mengqiyaskannya dengan zakat emas dan perak.

Pendapat ketiga adalah pendapat Imam Malik, yang menetapkan kadar zakat sebesar 2,5% atau 20%, tergantung pada biaya dan upaya untuk mengekstraksi mineral.

Kadar 2,5% adalah untuk barang tambang yang membutuhkan biaya dan usaha yang lebih besar untuk mengekstraknya, sedangkan kadar 20% untuk barang tambang yang membutuhkan biaya dan usaha yang lebih kecil.

Al-Qaraḍāwī mengikuti pendapat ketiga dengan alasan bahwa setiap mineral membutuhkan pendekatan ekstraksi yang berbeda. Mazhab Mālikī juga melihat bahwa mineral yang diekstraksi adalah milik baitul māl (perbendaharaan pemerintah negara Islam). Al-Qaraḍāwī setuju dengan pandangan bahwa mineral semacam itu harus dikelola oleh otoritas publik, tanpa kepemilikan pribadi.

Para ulama sepakat bahwa tidak ada haul (persyaratan jatuh tempo zakat selama satu tahun) untuk zakat mineral, dengan menganalogikannya dengan zakat hasil pertanian dimana zakat dibayarkan pada saat panen. Oleh karena itu, zakat mineral harus dibayarkan seketika setelah ekstraksi dan pemurnian dari residu. Oleh karena itu, pendekatan pembayaran zakat ini juga berlaku untuk minyak dan gas.

Pembahasan selanjutnya mengenai nisāb zakat mineral menjadi lebih menarik, terutama ketika pertanyaan ini diterapkan pada minyak dan gas.

Para ulama Muslim memperdebatkan apakah zakat mineral membutuhkan nisāb atau tidak. Al-Zuḥailī menyoroti bahwa meskipun mayoritas ulama sepakat bahwa mineral harus dikenai zakat, namun harus mencapai nisāb tertentu.

Mazhab Ḥanafī menyatakan bahwa Nisāb tidak diperlukan untuk zakat mineral karena Hawl juga tidak diperlukan. Mazhab Shāfi’ī dan Mālikī menyatakan bahwa nisāb berlaku untuk zakat barang tambang berdasarkan nisāb emas dan perak. Al-Zuḥailī dan Al Qaraḍāwī setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa nisāb diperlukan untuk zakat mineral.

Dengan merangkum diskusi hukum tentang masalah ini, makalah ini merupakan kontribusi penting untuk menjelaskan bagaimana Zakat dapat dikenakan pada minyak dan gas di Malaysia.

Untuk akses paper lengkapnya bisa dilihat disini