EKISPEDIA.COM – Berkecambahnya institusi dengan aktifitas sebagai pengelola zakat, infak sedekah dan wakaf (ZISWAF) di Indonesia merupakan respon kondisi sosial pada masa awal di republik ini.
Saat Syeikh Yusuf Qardhawi datang ke tanah air tahun 1998 ada fatwa beliau yang kemudian secara tidak sadar menjadi dasar legitimasi berdirinya banyak institusi zakat pasca reformasi.
Ketika itu Syeikh Qardhawi menjawab pertanyaan salah seorang perserta, bagaimana dengan kondisi negara yang masih kurang memungkinkan untuk mengelola zakat secara nasional. Maka dari situ munculah jawaban (fatwa) beliau yang membolehkan kelompok masyarakat (swasta) untuk menghimpun dan mengelola keuangan sosial Islam itu secara mandiri (Erie Sudewo, 2017).
Pada prinsipnya memang mayoritas negara muslim di dunia pengelolaan zakat dominan dilakukan oleh negara, terpusat, seperti di sejumlah negara-negara Timur Tengah. Ada juga yang sebagian diserahkan ke swasta namun tetap terpusat hanya ada satu di setiap daerah seperti di beberapa negara bagian Malaysia (IMZ, 2011).
Hal itu bisa dipastikan menjadikan Indonesia negara dengan lembaga amil zakat terbanyak di dunia. Mulai dari skala nasional, provinsi hingga kabupaten/kota seperti setingkat BMT (Baitul Mal wa Tamwil).
Potensi dalam ranah filantropi Islam di negeri ini bukan kaleng-kaleng. Khusus zakat, potensi zakat nasional saat ini mencapai angka Rp 327,6 triliun. Potensi tersebut hanya pada aspek zakat, belum infak, sedekah dan wakaf. Namun saat ini realisasinya dana zakat yang baru bisa dihimpun dari masyarakat sekitar Rp 71,4 triliun atau 21,7 % dari potensi yang seharusnya (BAZNAS, 2021).
Sumber pendapatan lembaga zakat memang salah satu yang utama adalah dari dana yang berhasil dihimpun. Yaitu dengan skema prosentase sesuai syariah.
Jika akadnya zakat maka maksimal lembaga hanya boleh mengambil 12,5% (1/8) dari dana yang berhasil dihimpun. Namun berbeda dengan akad himpunan yang lain seperti sedekah dan infak yang prosentasenya bisa jadi lebih banyak.
Logika industri seperti itu memang nyata adanya. Mencoba mencari keuntungan di bisnis kepedulian sosial inilah yang harus diwaspadai para pelaku dan stakeholder perzakatan. Iklim yang semacam itu tentu akan jauh menyimpang dari filosofi filantropi Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Pemberdayaan Bukan Penyaluran
Salah satu program lembaga filantropi Islam adalah adanya pemberdayaan ekonomi. Namun secara tidak disadari masih banyak lembaga yang salah persepsi dan implementasi.
Pemberdayaan itu bukan distribusi/penyaluran dana zakat semata, meski temanya permberdayaan namun di lapangan hanya berupa serah terima gerobak, alat masak, bantuan modal usaha, penyediaan bibit lele dan semacamnya. Selepas itu tidak jelas ujung rimbanya.
Ada monitoring tapi hanya sekedar formalitas dan tidak dengan kapasitas mengembangkan usaha. Padahal masing-masing wilayah membutuhkan manajamen tersendiri. Beberapa lembaga zakat banyak yang memberi tugas kepada amilnya untuk melakukan penyaluran sekaligus pemberdayaan.
Keduanya jelas berbeda, penyaluran atau distribusi lebih sederhana dan tidak membutuhkan kecakapan lebih, berbeda halnya dengan pemberdayaan yang perlu multi kecakapan. Sayangnya tidak sedikit lembaga zakat tertutama di daerah-daerah menempatkan amil bak manusia multitalent. Ujungnya banyak program pemberdayaan yang gimmick semata, menggelegar saat launching peresmian namun melempem pada prosesnya.
Goals utama peningkatan pendapatan masyarakat penerima manfaat kurang optimal. Dana zakat, infak atau sedekah dengan akad pemberdayaan harus terbuang karena minimnya profesionalitas, perencanaan dan kecakapan amilnya dalam memberdayaakan.
Tidak sedikit penelitian yang menunjukan kesimpulan bahwa tidak optimalnya dan ketidakefektifan program pemberdayaan signifikan dipengaruhi oleh pendamping, dalam hal ini amil.
Seperti penelitian berjudul Pengaruh Penyaluran Hasil Wakaf Produktif Terhadap Pemberdayaan Usaha Penerima Hasil Wakaf oleh Yogie Respati.
Dalam penelitian tersebut antara tiga variabel yakni pemberian modal usaha, pelatihan dan pendampingan, menyimpulkan bahwa pengaruh atau kualitas pendamping paling positif dan signifikan dibanding variabel yang lain bagi berhasil atau gagalnya program pemberdayaan. Maka perlunya ada klasifikasi dan profesionalitas khusus terutama dalam program yang bersifat pemberdayaan.
Syukur bisa bersifat terpisah antara murni amil dan seorang pendamping dan konsultan usaha yang profesional. Tidak boleh ada lagi perencanaan dan implementasi program permberdayaan yang dijalankan setengah-setengah. Mementingkan kesan wah di awal, mementingkan laporan bahwa program sudah berjalan di mata donatur namun inti dari pemberdayaan tidak tercapai.
Jangan sampai lembaga zakat dicitrakan sebagai perusahaan yang berlabel lembaga nirlaba. Perusahaan berorientasi profit, keuntungan buat karyawan dan operasional perusahaan sedangkan lembaga nirlaba tujuannya adalah benefit bagi masyarakat.
Eri Sudewo, yang dijuluki arsitek zakat oleh Syafii Antonio ini, pernah berkata bahwa di Barat orang harus memiliki uang dulu untuk mendirikan yayasan sosial. Di Indonesia nampak terbalik, dirikan yayasan dulu baru cari uangnya. Apapun itu tidak masalah, selama niatnya hanif dan bersih maka tetaplah baik di mata Allah.
Target “income” yang harus dicapai setiap tahun oleh lembaga zakat apakah benar-benar diniatkan untuk kesejahteraan masyarakat atau justru hanya demi eksistensi agar lembaga terus berjalan.
Tentu hanya bisa dijawab oleh hati nurani masing-masing bagi siapapun yang aktif di bidang filantropi Islam. Meski amil dianggap sebagai satu-satunya profesi formal yang disebutkan dalam al-Quran, namun perlu disimak bahwa profesi tersebut adalah sebatas untuk mengabdi bukan untuk mencari kauntungan.
Jangan jadikan aktifitas filantropi menjadi industri. Para sahabat rasul menjadi amil zakat dengan upah secukupnya bahkan banyak sahabat yang masih hidup dalam kemiskinan.
Kasus yang menimpa ACT misalnya adalah bentuk potensi negatif yang meledak, mungkin tidak berpengaruh signifikan bagi pandangan di masyarakat. Namun bisa dipastikan, melalui tulisan dan komentar jagat maya, bahwa masyarakat semakin tersadar dan kritis pada aktifitas kebaikan yang disalahgunakan oleh oknum.
Mengemas program dengan kampanye yang menyentuh sah-sah saja. Namun poin utamanya bukan itu, akan tetapi mendorong muzaki tergerak bukan karena “menjual” kemiskinan dan penderitaan orang melainkan karena kewajiban dan pertolongan yang diwajibkan (perintah) agama.
Kolaborasi Sepenuh Hati
Maka tugas para pegiat filantropi Islam sudah seharusnya juga membersihkan potensi timbulnya citra negatif institusi pengelola zakat dari masyarakat yang mulai kritis.
Marwah teologi al-maun yang merupakan salah satu seruan Islam harus tetap dirawat. Saluran pembayaran zakat saat ini juga sudah sedemikian mudah, luas dan praktis. Akan tetapi kata kuncinya tetap satu, sebagus dan semudah apapun membayar zakat, jika tidak ada gerak hati untuk membayar maka akan sia-sia kemudahan akses teknologi tersebut.
Hal itu bisa dikarenakan mereka para calon muzaki tidak tahu, tidak paham atau belum memiliki kesadaran yang cukup tentang zakat. Maka disinilah letak dakwah dan edukasi bahwa zakat itu wajib yang harus digencarkan secara intens dan kontinu di masyarakat. Serta bagaimana Islam memberi formula dalam mengatasi ketimpangan ekonomi dan sosial. Adapun cara menyampaikan pesan kewajiban itu bisa dengan berbagai saluran.
Sebuah penelitan berjudul “Contestation Between State And Non-State Actors In Zakah Management In Indonesia” memaparkan perihal aktifitas dunia lembaga zakat di Indonesia.
Penelitian tersebut mengungkap adanya kontestasi (jika tidak disebut sebagai persaingan) antara lembaga zakat swasta dan lembaga zakat milik pemerintah.
Eksistensi lembaga zakat swasta di tanah air justru kenyataanya lebih dulu ketimbang lembaga zakat milik pemerintah. Tak bisa dielakan pula bahwa saat ini ribuan orang menggantungkan hidupnya dari aktifitas lembaga zakat dalam artian sebagai keryawan (amil). Sehingga sangat sulit atau bahkan riskan jika ada usulan tentang pengeloaan zakat di tanah air seharusnya cukup terpusat satu lembaga milik pemerintah.
Perlunya kolaborasi yang sepenuh hati antara lembaga amil zakat, baik swasta maupun milik negara. Kerjasama bukan hanya tampak di luar namun juga di dalam, bukan bersaing saling menjatuhkan, berebut “lahan” calon donatur dan muzaki dari tingkat retail hingga corporat.
Sinergi seperti berlomba-lomba dalam kebaikan, fastabiqul khairat, dimulai dengan yang baik dan diakhiri dengan yang baik pula. Goalsnya tetap satu yaitu meningkatnya kesadaran umat Islam akan kewajiban syariat membayar zakat yang dikelola secara profesional. Mengentaskan satu keluarga miskin adalah program institusi, mengentaskan seribu keluarga miskin adalah program kolaborasi.
Tulisan ini dibuat bukan untuk mendegradasi gerakan zakat yang dilakukan oleh para aktivis filantropi Islam baik individu maupun institusi.
Kritik merupakan bentuk rasa cinta sekaligus juga wujud apresiasi atas suatu hal. Abstraksi dan visi aktivitas filantropi Islam di Indonesia sudah selayaknya perlu diperjelas dan dipertegas kembali, ditumbuhkan sekaligus disyiarkan lebih baik lagi.
Wallahu a’lam