EKISPEDIA.COM – Sebab seseorang melakukan tindakan korupsi terdiri dari banyak faktor. Adapun faktor dominan seseorang melakukan tindakan korupsi adalah adanya sifat tamak dari manusia.
Dewasa ini, korupsi sudah dianggap sebagai penyakit moral. Oleh karena itu penanganannya perlu dilakukan secara sistematis, yakni dengan menerapkan strategi yang komprehensif, preventif, detektif, represif, simultan dan berkelanjutan dengan melibatkan semua unsur terkait, baik unsur-unsur Lembaga Tertinggi Negara, maupun masyarakat luas.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun 1999, menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab korupsi di Indonesia, ialah aspek perilaku individu, yaitu faktor-faktor internal yang mendorong seseorang melakukan korupsi seperti adanya sifat tamak, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras, serta tidak diamalkannya ajaran-ajaran agama secara benar.
Sedangkan, faktor utama perbuatan korupsi adalah manusia, seorang Kwik Kian Gie di tahun 2003 mengatakan bahwa akan percuma, dan tidak akan efektif apabila seluruh upaya pemberantasan korupsi dibuat sedangkan faktor manusianya dikesampingkan, atau jika tidak ada program yang berfokus pada perbaikan manusianya sendiri.
Islam tidak mengajarkan pada umatnya untuk mementingkan diri sendiri dan hanya fokus pada hubungan hamba dengan Tuhannya, melainkan juga melatih manusia untuk memunculkan sense of aware. Yaitu sifat moral etis bagi pihak yang diberikan kelebihan harta untuk berbagi kepada pihak yang kesulitan. Hal ini berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi, karena korupsi termasuk penyimpangan sosial yang tidak memiliki aspek sense of aware.
Hal tersebut sesuai dengan penjelasan UU tindak pidana korupsi, bahwa korupsi ialah segala tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan perekonomian dan keuangan negara.
Pada pasal lain disebutkan pula bahwa selain memperkaya diri, korupsi juga menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan wewenang dan jabatannya, sehingga merugikan keuangan negara. Selain itu, pancasila yang diakui negara sebagai foundamental norm pada bunyi sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana artinya terdapat kewajiban bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk memiliki keyakinan terhadap Tuhan pada agamanya yang diiringi dengan ketaatan dan pemenuhan kewajiban dalam menjalankan ketentuan agamanya.
Pancasila sendiri mengandung makna pendidikan moral yang berperan sebagai pedoman bagi masyarakat Indonesia untuk bertindak hidup atau sikap bermasyarakat yang harus dilakukan.
Penanaman nilai moral pada sila pertama tentunya berkaitan dengan kewajiban para orang-orang termasuk pejabat publik untuk membayarkan sebagian hartanya dalam berzakat sebagai bentuk kepatuhan beragama dan wujud pelaksanaan pancasila sebagai ideologi negara.
Pada individu yang korupsi, tidak akan ditemukan kepekaan dan kepedulian sosial. karena pada hakikatnya korupsi ditujukan untuk memperkaya diri pribadi dengan merampas hak-hak orang lain. Perilaku korupsi yang diindikasikan dengan adanya sifat ketamakan, jelas sangat bertentangan dengan hikmah dan tujuan zakat.
Zakat yang bermakna penyucian harta dan menciptakan keadilan sosial telah diingkari para koruptor. Bahkan sejatinya, orang yang enggan membayar zakat bisa dikatakan telah berkorupsi, hal itu karena di dalam harta orang yang dikategorikan mampu tersebut terdapat hak orang miskin yang harus ditunaikan.
Zakat menyampaikan pesan agar manusia terhindar dari perilaku korupsi dengan mengeluarkan sebagian harta yang menjadi hak orang lain dan mengambil harta orang lain yang sudah jelas menjadi haram hukumnya.
Menurut Muhaimin Iqbal, terdapat tujuan pemberlakuan zakat yang bisa menjadi refleksi para pejabat agar terhindar dari perilaku korup, yaitu :
1. Melatih kedermawan
Zakat melatih kedermawanan serta memotivasinya untuk mencapai tujuan hidupnya. Kedermawanan merupakan karakter yang tercermin dari kemurahan hati, kebaikan hati, dan upaya tolong menolong dalam rangka meringankan beban orang lain dengan memberikan sebagian hartanya kepada yang membutuhkan yang didasari rasa ikhas dan rela berkorban di jalan Allah SWT.
2. Kebenaran
Kebenaran akan tercapai dengan unsur ketaatan dan kepatuhan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Dengan adanya ketaatan tersebut akan mengikis kecintaan seseorang pada kehidupan duniawi. Karena kecintaan terhadap dunia akan memalingkan manusia terhadap kecintaannya kepada Allah SWT.
Zakat sebagai syariat yang mewajibkan sesorang mengeluarkan sebagian hartanya maka akan menahan dirinya dari sifat yang berlebihan terhadap harta dan akan meningkatkan ketakwaannya serta mengikuti apa yang telah menjadi syariatNya.
3. Keberuntungan
Zakat mampu menjadi sarana untuk memperoleh keberuntungan melalui pemenuhan hak kerabat, fakir, miskin dalam rangka mencapai ridha Allah.
Secara lahiriyah, zakat mengurangi harta dengan mengeluarkan sebagiannya. Bagi sebagian orang yang mengerti, pengurangan yang bersifat dzahir ini, haqiqatnya akan kembali kepadanya secara berlipat ganda.
Karena sesungguhnya, Allah SWT melipatgandakan dan menyuburkan tanpa tau sebab-sebabnya, Allah memberikan anugerah kepada apa yang dikehendakinya, dan anugerah Allah SWT maha luas.
4. Perlindungan
Zakat melindungi pemiliknya dari hukuman yang berat yang diancam Allah. Adapun sanksi yang diberikan kepada seseorang yang enggan membayar zakat ialah berupa siksaan yang sangat pedih. Sebagaimana ditulis dalam surah At-Taubah : 34-35 yaitu ;
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡأَحۡبَارِ وَٱلرُّهۡبَانِ لَيَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۗ وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٖ ٣٤ يَوۡمَ يُحۡمَىٰ عَلَيۡهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكۡوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمۡ وَجُنُوبُهُمۡ وَظُهُورُهُمۡۖ هَٰذَا مَا كَنَزۡتُمۡ لِأَنفُسِكُمۡ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمۡ تَكۡنِزُونَ ٣٥ [ التوبة:34-35]
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. [At Tawbah: 34 – 35]
Orang yang enggan menunaikan zakat adalah termasuk golongan yang ingkar terhadap kewajibannya, maka ia pun dianggap telah kufur. Bahkan sebagaimana yang terjadi pada zaman khalifah Abu Bakar As-Siddiq, orang-orang tersebut akan diperangi. Hal itu didasari oleh hadist Rasulullah SAW yang berbunyi :
“Barangsiapa yang memberikannya (zakat) demi mendapatkan pahala, maka ia akan mengambilnya dan setengah dari untanya sebagai suatu tekad (kewajiban) Tuhan kami, Allah SWT tidak halal bagi keluarga Muhammad sedikitpun dari zakat. (H.R Ahmad dan an-Nasa’i)
Dan Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan dalam HR Pemilik Kuubus Sittah selain at-Tirmidzi dari Abu Hurairah, yang artinya :
“Barangsiapa diberi harta oleh Allah, lalu tidak membayarkan zakatnya, maka hartanya itu akan diwujudkan dengan ular botak yang mempunyai dua titik hitam. Ular itu akan melilitnya pada hari Kiamat, mengambil dengan kedua lehernya, kemudian berkata, “Aku hartamu, aku simpananmu”, lalu membaca, “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada merekadari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak dilehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan yang ada diblangit dan bumi. Dan Allah yang mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dari dalil inilah, para ulama menyimpulkan bahwa jikalau satu orang atau satu kelompok enggan berzakat maupun berperang, maka seorang pemimpin wajib memerangi mereka. Sementara, orang tidak dianggap kufur jika tidak tau kewajibannya atau karena kikir.
5. Masuk ke-partai Allah dan Rasulnya
Sifat manusia bilaman terlepas dari sifat kikir dan bakhil dan terbiasa memberi dan berinfak maka, sifat kikirnya akan terangkat, sebagaimana firman Allah :
ٱلۡإِنسَٰنُ قَتُورٗا ١٠٠ [ الإسراء:100-100]
“Dan adalah manusia itu sangat kikir” (QS Al-Isra’ :100)
Maka ia, hampir mendekati kesempurnaan sifat Tuhan, karena sifatnya yang suka memberi kebaikan, kasih sayang dan kebajikan tanpa ada memikirkan wujud manfaat yang kembali pada dirinya.
Salah satu upaya untuk melahirkan sifat ini adalah dengan bergabung kedalam partai Allah dan berakhlaq denganNya yang mana itulah ujung dari kesempurnaan nilai kemanusiaan.
Allah SWT mensyariatkan zakat dalam Islam agar nilai kesempurnaan tersebut berada pada jiwa manusia, yaitu ia mempunyai sifat memberi kebajikan kepada makhluk Allah, dan berupaya menghilangkan kesalahannya.
Rasulullah pun bersabda, “Berakhlaqlah kamu sekalian dengan Akhlaq Allah”
Berdasarkan beberapa uraian terkait fungsi dan tujuan zakat diatas, dapat menjadi acuan seseorang agar terhindar dari perilaku korup. Sejatinya, faktor terbesar seseorang dalam melakukan tindakan korupsi adalah adanya unsur ketamakan, keserakahan dan kikir.
Memaksa diri untuk menunaikan zakat akan membunuh sifat-sifat tersebut dan turut menghantarkan seseorang menjadi pribadi yang lebih banyak mensyukuri nikmat Allah SWT dengan mensucikan harta dan dirinya.
Korupsi jelas sangat bertentangan dengan makna kewajiban zakat yang ditetapkan oleh syariat. Oleh karena itu, dengan mengoptimalisasikan zakat diharapkan memiliki dampak pada kesadaran umat muslim, khususnya para pejabat negara untuk tidak melakukan tindak korupsi dan mendorong upaya pemberantasan korupsi secara utuh dan berkelanjutan.