EKISPEDIA.COM – Pengembangan ilmu ekonomi Islam pada era modern sejak konferensi pertama ekonomi dan keuangan Islam pada 1970an. Hanya saja hingga -meminjam kronologi Siddiqi (2015)- memasuki fase ketujuh pengembangan batang tubuh pengetahuan (body of knowledge) ekonomi Islam belum tersusun utuh, komprehensif dan mapan. Sebagai konsekuensinya seperti disebut oleh Furqani (2019) ekonomi Islam belum dapat dianggap sebagai disiplin ilmu ekonomi yang utuh dan mandiri.
Kuran (1986, 1995) dan Roy (2013) bahkan menyebut ekonomi Islam lebih mengedepankan agenda fundamentalisme ideologis Islam sebagai reaksi persaingan politik, ekonomi dan sosial dengan barat ketimbang sebagai disiplin ilmu pengetahuan. Hasil pengembangan ekonomi Islam lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat preskriptif ketimbang menghasilkan landasan ilmiah untuk mengonstruksi metodologi yang sesuai untuk pengembangan teorisasi dan appraisal teori ekonomi Islam.
Permasalahan pengembangan ekonomi Islam sebagai disiplin ilmiah ditengarai berpangkal dari sikap pragmatisme dalam proses Islamisasi Pengetahuan terhadap ilmu ekonomi modern. Haneef & Furqani (2011) dan Furqani (2019) menyebut bahwa pada periode 1950an diskusi-diskusi ekonomi Islam lebih bercorak filosofis dan idealis sebagai bentuk revivalisasi tradisi keilmuan Islam (turāts), sehingga ia dapat menunjukkan posisi primasi tradisi keilmuan Islam yang dengan terbuka menantang arogansi tradisi keilmuan barat modern.
Hanya saja pada era 1970an justru corak pragmatisme dalam Islamisasi Pengetahuan muncul dan menyebabkan alih-alih mampu mengubah worldview, paradigma nilai dan struktur analitis ilmu ekonomi modern, Islamisasi Pengetahuan justru lebih bersifat reaktif dan reseptif terhadap teorisasi ilmu ekonomi modern terutama aliran Neoklasikal, Keynesian dan Monetarian. Sehingga, ekonomi Islam tampak sebagai hasil replikasi metodologi aliran ekonomi Neokladikal dan Keynesian yang berdampak pada penurunan daya intelektual dalam membangun konstruksi teori ilmu ekonomi yang mandiri (Abdullah, 2018; Alatas, 2018; Sholihin & Furqani, 2021).
Pengembangan tubuh pengetahuan ekonomi Islam dapat dialihkan pada pendekatan end-to-end atau step-by-step. Pendekatan end-to-end bersifat bertahap (gradual) dan berkelanjutan (kontinyu) untuk mengatasi permasalahan aksiologis dari Islamisasi Pengetahuan yang bersifat seporadis dan parsial-fragmentatif.
Pendekatan end-to-end bertujuan untuk menemukan pola-pola paling dasar dan sederhana ekonomi Islam yang dapat berkembang menjadi model-model yang lebih kompleks seiring akumulasi pengetahuan baik melalui penelitian-penelitian teoritis yang bersifat penalaran analitis maupun empiris dengan menguji baik kerangka teori parsial maupun model.
Fase end-to-end bergerak dari mikrofondasi ekonomi Islam hingga makrofondasi struktur teori. Furqani (2018) mengidentifikasi mikrofondasi ekonomi Islam mencakup dimensi ontologi yang terdiri atas hakikat (nature), cakupan (scope) dan subyek permasalahan ekonomi Islam. Sedangkan Arif (2015), Khan (1987) dan Sadr (2019) mengidentifikasi mikrofondasi ekonomi Islam pada subyek pelaku ekonomi, perilaku ekonomi dan paradigma nilai bagi perilaku ekonomi. Naqvi (1987) dan Asutay (?) justru mengidentifikasi mikrofondasi ekonomi Islam terdapat pada landasan filsafat etika sebagai sumber dan asas paradigma nilai bagi perilaku dan model aktivitas ekonomi sebagai dasar bagi teorisasi ilmu ekonomi Islam.
Seluruh aspek yang mencakup mikrofondasi ekonomi Islam dari bagian yang paling sederhana harus didefinisikan dengan jelas dan tepat tanpa ada yang terlewatkan. Apabila ada bagian yang terlewatkan baik disebabkan keterbatasan kualifikasi dan keahlian pada suatu bidang, maka harus dapat diidentifikasi bidang studi atau keahlian yang relevan untuk menuntaskan perkara yang belum teridentifikasi (unidentified) pada bagian tersebut.
Fase problem-solving (pemecahan masalah) dijalankan setelah memperoleh pola-pola dasar yang beragam dari fase end-to-end sebelumnya, dimana pola-pola tersebut masing-masing diterapkan untuk pemecahan masalah sesuai permasalahan yang dihadapi. Seperti pada kasus moral hazard dan adverse selection yang terkait dengan permasalahan insentif perilaku, maka diterapkan model perilaku dan mekanisme pengendalian konflik keagenan yang tepat berdasarkan hasil-hasil temuan dari penelitian-penelitian pada fase end-to-end.
Pemecahan masalah (problem-solving) dapat memberikan pengelaman (experience) dan akumulasi pengetahuan yang bersifat praktis dari penerapan model teori-teori yang telah dirancang sehingga dapat menunjukkan keunggulan (advantage) dan kelemahan (weakness) baik sebagai teori maupun pemecahan masalah.
Fase efisiensi-efektivitas yang diperoleh dari analisis keunggulan dan kelemahan masing-masing solusi pemecahan masalah (problem-solving) sehingga diperoleh berdasarkan kriteria utilitas obyektivitas sistem, tingkat efisiensi dan efektivitas yang berbeda. Pada tahap ini berbagai alternatif model teoritis dengan efisiensi dan efektivitas yang berbeda membentuk titik-titik ekuilibrium masing-masing, dimana masing-masing ekuilibrium menunjukkan trade-off (keseimbangan) yang berbeda-beda. Untuk itu harus dipilih model teori yang paling optimum sebagai model acuan.
Fase inovasi yang mencakup pengembangan, peninjauan ulang dan pengubahan kerangka teori yang dianggap paling optimum. Hal ini perlu dilakukan seiring bertambahnya informasi ataupun temuan terbaru, maka diperlukan pembaharuan model teori a prior agar sesuai dengan kebutuhan terkini.
Setidaknya model teori yang dikembangkan harus dapat bertahan dari perubahan realitas konsideran dalam pengertian ia tetap relevan dengan kondisi yang dihadapi dan model teoritis harus mampu membangun struktur analitis yang terdiri atas konstruksi pengetahuan dan doktrin yang berdampakmpada konstruksi keperilakuan manusia.
Fase kemaslahatan yang mana model teori telah dapat menghasilkan kemaslahatan berupa kemanfaatan ditinjau dari aspek aksiologis maupun purposivisme (kebermaksudan) teori tersebut. Sebagai contoh dalam ilmu ekonomi Islam tujuan yang utama ialah agar manusia dapat mencapai falah (kebahagian) baik yang bersifat materil (sarwāt al-maddah) maupun spiritual (sarwāt al-ruhaniyah).
Pencapaian (realisasi) kemaslahan menentukan eksistensi model teori yang dibangun. Model teori ekonomi Islam yang tidak mampu mengonsiderasi realitas kerap akan menemui kebuntuan epistemologis dan aksiologis sehingga ia tidak mampu menghasilkan kemaslahatan, maka model teori tersebut akan dianggap tidak berguna sebagai model pengetahuan.
Fase Tawhidī yang merupakan proses akhir dalam pengembangan ilmu ekonomi Islam. Pada tahap ini model teori ekonomi Islam diharapkan dapat menghantarkan manusia pada tujuan akhir yaitu mencapai puncak pengetahuan tertinggi tentang ke-Esaan Tuhan, dimana seluruh pengetahuan manusia pada tujuan akhirnya akan menyaksikan bahwa tujuan akhir (eskatologis) akan menyaksikan bahwa Tuhan merupakan kebebaran tertinggi yang tunggal dan tidak mendua (ahad).
Pengembangan ekonomi Islam melalui pendekatan end-to-end seperti yang telah dijelaskan merupakan proses bertahap dan membutuhkan ketekunan dari peneliti dan pengkaji ekonomi Islam. Ia bukanlah proses yang bersifat parsial, pragmatis dan seporadis sehingga ia terlihat acak-acakan dan terputus-putus. Justru ia merupakan proses yang komprehensif dan berkelanjutan, sehingga ia dapat menghasilkan model teoritis yang mapan.
Wallahu a’lam