EKISPEDIA.COM – Beberapa waktu belakangan tingkat inflasi Indonesia cenderung rendah. Sejak Juni 2023 tingkat inflasi Indonesia hanya berkisar 3 persen, bahkan Indonesia saat ini sedang berada di titik dimana inflasi berada di titik terendah dalam sejarah. Tingkat Inflasi pada tahun 2024 hanya mencapai 1,57 persen secara tahunan (Year on Year), lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Inflasi yang rendah artinya harga bahan pokok stabil yang bisa menguntungkan konsumen dalam jangka pendek. Pemerintah menganggap rendahnya angka inflasi karena konsistensi kebijakan pemerintah dalam bidang moneter dan fiskal sehingga mampu meredam inflasi sambil tetap menjaga pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah menganggap rendahnya inflasi saat ini adalah sesuatu yang baik jika dibandingkan dengan negara-negara G20 lainnya seperti Argentina (110 persen YoY), Turki (44,28 persen YoY), Rusia (9,5 persen YoY).
Salah satu penyebab utama rendahnya tingkat inflasi Indonesia adalah penurunan harga pangan. Setelah lonjakan harga pangan akibat pandemi pada tahun 2022 dan 2023 serta terganggunya rantai pasok global, pada tahun 2024 harga pangan seperti beras, minyak dan daging mengalami penurunan yang signifikan.
Di satu sisi, inflasi rendah berarti harga barang dan jasa stabil, yang dapat menguntungkan masyarakat dalam jangka pendek. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, inflasi yang terlalu rendah bisa menjadi pertanda melemahnya daya beli masyarakat dan perlambatan ekonomi. Terbukti dengan pertumbuhan ekonomi di tahun 2024 hanya 5,03 persen jauh lebih rendah dari target sebesar 5,2 persen dan rendah dari tahun 2023 sebesar 5,05 persen.
Pada tahun 2019 kelas menengah di Indonesia berjumlah 57,33 juta orang. Nilai ini turun menjadi 47,85 juta orang pada tahun 2024. Hal ini berarti berkurangnya jumlah orang yang memiliki kemampuan untuk berkontribusi menggerakkan ekonomi melalui sektor konsumsi. Padahal konsumsi adalah roda utama penggerak pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan kontribusi sebesar 54,04 persen terhadap PDB Indonesia. Menurunnya daya beli masyarakat diindikasikan dari pertumbuhan konsumsi yang hanya sebesar 4,94 persen, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03.
Penyebab rendahnya tingkat inflasi juga dikarenakan Bank Indonesia menerapkan kebijakan suku bunga tinggi untuk menjaga nilai rupiah yang saat ini menembus angka Rp.16.000. Namun kebijakan ini juga pada akhirnya memiliki dampak negatif karena kredit konsumsi dan investasi menjadi lebih mahal. Industri dan pelaku usaha memilih untuk menunda pengeluaran sehingga pertumbuhan ekonomi ikut melambat.
Kebijakan ketat moneter mengakibatkan pertumbuhan industri manufaktur Indonesia terhambat. BPS mencatat, sejak pandemi usai, pertumbuhan industri pengolahan berturut-turut adalah 4,89 persen (2022), 4,64 persen (2023), dan 4,43 persen (2024). Pertumbuhan industri manufaktur juga masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional menandakan kondisi industri pengolahan juga tidak sedang dalam kondisi baik.
Apabila tingkat inflasi ini masih berlanjut, Indonesia bisa mengalami stagnasi yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi melambat dan sulit untuk dipulihkan kembali. Sulit untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen apalagi mencapai target pemerintah sebesar 8 persen. Untuk itu pemerintah perlu mengambil beberapa langkah strategis. Pertama, pemerintah bisa menurunkan PPN bukan malah menaikkannya agar daya beli masyarakat meningkat. Meningkatnya daya beli masyarakat secara otomatis akan meningkatkan pendapatan konsumsi domestik sehingga roda penggerak utama ekonomi bisa berjalan dengan lebih baik.
Kedua, Bank Indonesia bisa melakukan penyesuaian suku bunga agar pengusaha bisa lebih menjangkau akses kredit. Walaupun memang kebijakan ini akan memiliki resiko karena nilai tukang rupiah terhadap dolar sudah mencapai lebih dari Rp.16.000. Ketiga, pemerintah bisa memberikan insentif pajak untuk industri padat karya yang bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. Tidak kalah penting pemerintah juga bisa memberikan kepastian dan keamanan bagi investor untuk mendirikan usaha di Indonesia.
Selama ini investor masih ragu untuk berinvestasi di Indonesia salah satunya karena banyak ormas yang meminta “jatah”. Gangguan terhadap industri ini yang juga menyebabkan sulitnya Indonesia mendapatkan investasi bahkan Himpunan Kawasan Industri (HKI) mengklaim ratusan triliun dana potensi investasi dari asing gagal didapatkan Indonesia karena ulah ormas-ormas di Indonesia.
Pemerintah perlu merancang langkah strategis yang efektif agar ekonomi Indonesia bisa pulih dan tidak terjerumus pada perlambatan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah perlu merangsang agar konsumsi dalam negeri dan investasi meningkat agar memastikan ekonomi bergerak dalam koridor yang sehat. Jika tidak, kondisi ini akan berlarut-larut berubah menjadi stagnasi ekonomi yang berkepanjangan.