EKISPEDIA.COM – Salah satu karya tasawuf akhlaqi awal yang membahas kepemilikan dan tasharruf harta di antaranya adalah Ishlah al-Mal karya Ibn Abi ad-Dunya.
Berbeda dengan teks-teks turats lain yang membahas konsep harta (al-Mal) seperti kitab al-Amwal baik yang disusun oleh Abu ‘Ubaid ibn as-Salam maupun Ibn Adam dengan lebih mengedepankan pembahasan ketentuan fiqhiyah dan kebijakan politik ekonomi, kitab Ishlah al-Mal menilik permasalahan kepemilikan dan pengurusan harta dari sisi tasawuf atau esketisme.
Prinsip utama dalam tasawuf berkenaan pengurusan harta adalah menjaga harta agar berasal dari sumber yang halal dan baik (thayyibat).
Para fuqaha mendefinisikan sumber harta yang baik dan thayyibat baik dari sisi materil (‘ayn) maupun tata cara memperolehnya (kayfiyah).
Al-Hushni misalnya menjelaskan bahwa salah satu syarat harta yang boleh ditasharrufkan yaitu memenuhi kriteria kesucian materil harta dari unsur-unsur keharaman dan najis.
Jumhur ulama dengan tegas melarang kepemilikan dan tasharruf barang-barang yang haram dan najis seperti (mohon maaf) memiliki dan memperdagangkan hewan seperti babi dan anjing untuk memperoleh keuntungan dari harga (tsaman) penjualan keduanya, begitu pula dilarang memperdagangkan komoditas yang merugikan (disutilitas) dan dapat membuat mudharat baik dari sisi tinjauan syara’ maupun ‘urf.
Hanya saja sebagian kalangan ulama terutama dari Hanafiyah (mohon koreksinya) memandang diperbolehkannya mentasharrufkan jenis barang najis tertentu seperti pupuk kandang (‘azlab) dengan dasar adanya manfaat dari tinjauan ‘urfi bagi petani demi kesuburan tanaman.
Sekalipun kalangan Ahnaf menganggap bahwa harta terbatas pada wujud materil (‘ayn) dan tidak termasuk manfaat (utility) yang berdiri sendiri seperti aset-aset tidak terlihat (nontangible assets), tetapi kemanfaatan pupuk kandang (‘azlab) walaupun termasuk barang yang dihukumi najis oleh nash pada materilnya (‘ayn) tetapi dihukumi berdasarkan keumuman oleh kebiasaan yang umum kemanfaatan penggunaannya dan telah menjadi hajat hidup orang banya sehingga dihukumi kemubahan penggunaannya.
Permasalahan berikutnya terkait cara-cara kepemilikan harta, pada konteks ini dibahas oleh para fuqaha tentang harta-harta yang boleh dimiliki (ihraz al-mubahat).
Harta-harta yang boleh dimiliki (ihraz al-mubahat) bukan hanya merupakan harta-harta yang suci dari keharaman dan najis, tetapi juga harta yang cara untuk memerolehnya sesuai tuntunan syara’.
Para ulama fuqaha menyebutnya dengan adanya unsur kesengajangan untuk memiliki (tamalluk) yang terdiri atas unsur menghendaki (willen) dan menghendaki (witten) untuk menguasai harta.
Cara untuk menguasai harta tersebut yang diperkenankan oleh syara’ para ulama berbeda pendapat di antaranya pendapat Hasbi al-Shiddiqy dalam Pengantar Fiqih Muamalah yang meliputi penguasaan atas harta-harta bebas di alam (tamalluk ihraz al-mal al-mubahat), penggantian atas hak kepemilikan harta (khalafiyyah) yang meliputi pewarisan (irats) maupun ganti rugi atas kerusakan (ta’widh), transaksi perdagangan (al-bay’u at-tijariyah), serta pertumbuhan nilai investasi (tawallud minal mamluk).
Hanya saja para ulama Tasawuf seperti Harits al-Muhasibi, al-Ghazali dan ‘Izzuddin ibn ‘Abd. as-Salam mengingatkan pentingnya unsur Ihsan. Para ulama muhaqqiqin mendefinisikan Ihsan sebagai tambahan kebaikan (ziyadah al-hasanah) melebihi batasan yang ditetapkan oleh zahir syara’ maupun ‘urf.
Pada konteks kepemilikan harta maka Ihsan harus menjauhi unsur-unsur kezhaliman terhadap makhluk seperti tidak menguasai harta sehingga menyebabkan kerusakan ekologis, tidak mengambil alih kepemilikan harta publik yang menjadi hak masyarakat seperti menguasai lahan maupun sumber daya alam seperti air dan migas maupun nonmigas, tidak menguasai harta secara berlebihan sehingga menganggu distribusi faktor-faktor produksi dan lain sebagainya.
Wallahu a’lam