EKISPEDIA.COM – Islam hingga kini, masih tetap dipahami sebagai sekumpulan aturan-aturan yang lengkap bagi umat Muslim. Bagi sebagian besar umat Muslim, meyakini tidak ada satu pun perilaku yang tidak diatur secara detail dalam wilayahnya Islam, sehingga mereka tak heran manakala menganggap agama Islam adalah agama yang lengkap dengan aturan hukum, sehingga mereka pun meyakini dengan sungguh bahwa Islam adalah agama yang amat sempurna.
Padahal, manakala kita telisik dan kaji secara lebih mendalam, kian banyak berbagai aturan yang dinisbatkan sebagai hukum Islam, justru saya kira kita akan malah melahirkan kesulitan atau mempersempit ruang gerak umat Muslim dalam menyesuaikan kondisinya dengan realitas modern kini, atau dengan keadaan zaman yang kian berubah dengan pesatnya.
Dalam pemaknaan berbagai aturan yang cenderung kaku, juga justru akan membuat kehidupan umat beragama tidak fleksibel, sehingga akan membuat perkembangan dalam kehidupan umat Islam berhenti atau mengalami stagnasi yang amat menghawatirkan serta membahayakan.
Lepas dari persoalan di atas, sesungguhnya agama Islam telah memberikan ruang kebebasan yang harus dimaknai dengan bijaksana. Sebelum saya bicara megenai hubungan ketiga hal pada judul di atas, saya akan coba menjelaskan makna kebebasan terlebih dahulu.
Dalam ilmu tasawuf, manusia diciptakan oleh Tuhan selain atas dasar tujuan penciptaan-Nya, cerminan Tuhan, atas dasar pemberian pengetahuan, ternyata juga atas dasar pemberian hak kebebasan memilihnya. Tetapi pada wilayah lain, dalam sumber kalam atau kita kenal dengan teologi Islam, ada sedikit perdebatan dalam masalah ontologis, apakah manusia benar-benar diciptakan dengan kebebasan atau tidak? Ternyata, bagi sebagian ada yang meyakini memiliki kebebasan. Namun, bagi sebagian besar yang lain berkata manusia tidak memiliki kebebasan.
Tetapi dalam kesimpulan saya, saya sangat meyakini bahwa manusia memiliki dan sengaja diberi kebebasan memilihnya oleh Tuhan atas dasar hak prerogatif-Nya. Kebebasan adalah sebuah “fitrah” dan sangat sesuai dengan ajaran Islam, terbukti hal ini tercermin dalam sikapnya Al-Qur’an memberi kebebasan pada setiap yang enggan memeluk agama Islam, Al-Qur’an pun memberikan sebuah jawaban yang cukup strategis, “La Ikraha Fid-din” kata Al-Qur’an, yang bermakna “tidak ada paksaan dalam beragama”.
Masih dalam kapasitasnya kebebasan, saya melihat ada dua bentuk kebebasan, yakni kebebasan beragama dan kebebasan dalam berfikir, yang ini boleh jadi akan melahirkan timbulnya dua kebebasan yang lain, yaitu kebebasan dari kelaparan (kekurangan pangan) dan kebebasan dari ketakutan. Dalam kesempatan ini, saya akan mencoba memberikan ulasan yang fokus pada kebebasan dari kelaparan atau kekurangan. Bagaimana mestinya intervensi negara dalam mengimplementasikan hukum atau aturan dalam perspektif ekonomi Islam untuk membebaskan dari kelaparan pada setiap insan.
Kebutuhan Manusia dan Jawaban Al-Qur’an
Musdah Mulia (2010) dalam bukunya yang berjudul Negara Islam, di sana ia menjelaskan ada empat kebutuhan dasar Manusia, diantaranya ialah kebebasan dari kelaparan atau kekurangan pangan, yang ini akan saya ulas di dalam tulisan ini. Dalam artiannya, kebebasan dari kelaparan atau kekurangan pangan.
Pemenuhan terhadap kebutuhan manusia ini memungkinkan terciptanya ketentraman dan kesejahteraan dalam diri manusia. Masalah kelaparan dan kekurangan pangan yang melanda banyak negara boleh jadi diakibatkan oleh pesatnya perkembangan ekonomi dan perubahan tatanan dunia yang juga begitu cepat dari negara pertanian menuju negara industri. Sehingga tak mustahil manakala ini menimbulkan berbagai dampak negatif yang sulit dipahami oleh manusia.
Manakala kita lihat bersama, dalam sejarahnya, mengenai perjalanan peradaban ekonomi, kita akan melihat betapa diskriminatifnya perekomonian dalam masa silam, yang kemudian melahirkan kelaparan dan kekurangan pangan. (boleh jadi hingga kini masih terjadi) Pasalnya di dunia barat pada mulanya muncul sebuah prinsip kebebasan ekonomi yang itu sangat dianut oleh masyarakat Barat. Prinsip ini lekat dengan paham individualisme. Prinsip ini berkembang pesat dan mendominasi dunia pada awal abad ke-19.
Paham individualisme ini sesunggunya memiliki pandangan yang tampak cukup strategis, ia memandang kebebasan ekonomi sebagai sebuah upaya dalam penyelesaian dari berbagai kemelut yang dihadapi oleh setiap manusia. Tetapi upaya-upaya yang lahir dari paham ini, justru malah melahirkan berbagai problem baru. Paham ini disebut sebagai ekonomi kapitalisme yang berasaskan prinsip “ekonomi kebebasan” yang rasa-rasanya malah justru tidak mampu mengatasi persoalan pangan manusia.
Islam pun dalam kapasitasnya melihat problematika ini, sesungguhnya ia hadir berorientasi untuk mengatasi ini. Islam dalam hakikatnya mengajarkan agar manusia untuk membebaskan dirinya dari belenggu kelaparan dan kekurangan pangan menurut caranya yang digariskan Allah dan Rasul-Nya. Cara yang dimaksud, diantaranya ialah Zakat dan Sedekah. Sebab itulah, Islam menegaskan bahwa dalam harta orang berpunya terdapat hak bagi orang miskin.
Al-Quran pun memberikan legitimasi seperti yang yang termaktub dalam (Q.S, Al-Anfal, 8:72) dan (Q.S,Al-Taubah,9:71) yang dalam upayanya mendorong manusia untuk membebaskan sesama manusia dari kelaparan dan kekurangan pangan. Artinya, bahwa prinsip kesejahteraan dalam wilayah Islam bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat.
Al-Qur’an pun juga telah memberikan penetapan yang amat kongkrit yang berpedoman kepada prinsip keadilan sosial dan keadilan ekonomi yang berdasar pada sejumlah sumber dana untuk jaminan sosial, di antaranya ialah zakat, infak, sedekah, hibah, dan wakaf. Saya kira, hal itu benar, bahwa seluruh sumber dana tersebut manakala dikelola dengan baik menggunakan manajemen modern serta mengikuti perkembangan zaman akan menjadi solusi yang tepat bagi pengentasan problematika kemiskinan dan kelaparan yang di alami oleh umat manusia.
Intervensi Negara untuk Kesejahteraan
Negara memiliki tujuan utama yakni mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat. Oleh sebabnya, atas tujuan itu pemilik otoritas yang dalam hal ini ialah para pemimpin negara hendaknya senantiasa memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, bukan semata-mata memperhatikan kepentingan diri mereka sendiri, dan keluarganya saja. Pasalnya, seluruh rakyat itulah pada hakikatnya yang menjadi sebuah tumpuan keselamatan bangsa dan negara. Tanpa rakyat negara pun mustahil tercipta.
Para pemimpin negara hendaknya senantiasa memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, menjaganya terhindar dari bahaya kelaparan dan kekurangan pangan. Melalui upaya-upaya strategis dalam pengelolaan berbagai sumber dana diataslah, adalah merupakan salah satu solusi baik. Negara wajib hukumnya mengatur, mengelola, serta mengalokasikan dana itu dalam jumlah yang cukup untuk jaminan sosial bagi rakyat.
Jaminan sosial itu misalnya mencakup tunjangan orang lanjut usia, orang cacat, dan beasiswa bagi mereka yang sedang menuntut ilmu. Selain itu, Negara dalam hal ini, juga teramat wajib hukumnya untuk menyediakan sarana peribadatan, pendidikan, panti asuhan, rumah sakit, dan keperluan sosial lainnya. Sehingga itu semua akan menjawab problematika kehidupan rakyat. Sebagai pungkasan, membebaskan manusia dari kelaparan dan kekurangan pangan ialah tanggung jawab bersama, terlebih ia adalah tanggung jawab negara dalam hal ini pemangku otoritas. Semoga dapat kita pahami bersama.
Referensi
Mulia, Musdah. (2010). Negara Islam. Jakarta: Kata Kita