Opini

Zakat dan Pembangunan Ekonomi

growth-ekispedia

EKISPEDIA.COMInstrumen keuangan dalam Islam yang bisa menjadi solusi dalam ketimpangan kondisi ekonomi salah satunya adalah zakat. Sifatnya yang mengikat serta peruntukannya yang tertentu menjadikan zakat di era modern ini bisa menjadi alternatif solusi bagi pengentasan kemiskinan.

Yusuf Qardhawi memandang bahwa kemiskinan memiliki potensi membahayakan dalam hal akidah, akhlak, logika berpikir dan bahkan dampak besarnya berpengaruh bagi keluarga dan masyarakat.

Kemiskinan, krisis pangan, kelaparan adalah dampak dari ketidakseimbangan sistem ekonomi. Gagalnya sebuah sistem ekonomi menciptakan ruang distribusi yang tidak merata sehingga mengakibatkan ketimpangan akses terhadap sumber pangan (ekonomi).

Islam dalam memandang sistem ekonomi berangkat dari sumber utamanya yaitu adanya persoalan distribusi. Maka kemudian para ulama dan sarjana Islam melalui landasan wahyu merumuskan solusi bagi permasalahan tersebut. Baik itu mendasarkan pada dali qoth’i maupun berdasarkan pengembangan (ijtihad) para ulama.

Sedangkan ekonomi konvensional katakanlah seperti kapitalisme berangkat dari pemahaman bahwa permasalahan ekonomi adalah soal kelangkaan (scarcity). Muasal proposisinya adalah sumber daya alam yang terbatas tidak akan bisa memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Sehingga segala aktivitas manusia diarahakan untuk mengupayakan dan merancang sistem dalam mengatasi kelangkaan. Ujungnya akan membentuk hukum permintaan dan penawaran yang dimana terciptalah sebuah harga pasar.

Pandangan yang semacam itu tentu akan sangat berbeda dengan ekonomi Islam, dimana ekonomi konvensional (Barat) gagal mendifinisikan arti “kebutuhan (need)” manusia. Mereka cenderung mencampur adukan antara kebutuhan, keinginan dan nafsu (desire), yang akhirnya terbentuklah tesis bahwa “kebutuhan” manusia tidak terbatas.

Dalam Islam sendiri definisi ketiga hal tersebut jelas sangat dibedakan antara kebutuhan yang memang harus dipenuhi dan keinginan ataupun nafsu yang harus dikendalikan.

Oleh karenanya sulit rasanya memisahkan bahwa ilmu ekonomi dalam perspektif Islam itu bukan hanya sekedar membahas hubungan manusia dengan manusia atau harta (muamalah). Melainkan juga akan terlibat pula hubungan nilai-nilai Islam lain yang akan sangat mempengaruhi bagaimana seorang manusia menjalani aktifitasnya sebagai homo economicus.

Dalam konteks ekonomi secara umum, zakat (selain sedekah infak dana wakaf) dimaknai sebagai mekanisme sosial yang bisa dikatakan menempati sektor ketiga (third sector). Dimana hal itu untuk melengkapi dua sektor lainnya yang dalam sistem ekonomi konven dikenal sebagai monetary dan real sector.

Secara tidak langsung, Monzer Kahf sebagai salah satu cendikiawan ekonomi Islam, meyakini bahwa zakat dapat mempengaruhi secara positif terhadap tingkat tabungan dan investasi.

Karena tabungan yang mencapai batas tertentu (nishab) akan terkena zakat akibatnya akan mendorong seseorang untuk mengembangkan (investasi) hartanya. Tujuannya agar hartanya tidak habis tergerus oleh zakat, sebagaimana juga Rasulullah Saw pernah meminta harta anak yatim untuk dikembangkan agar tidak tergerus zakat.

Ujungnya jika investasi bertambah yang akan berpengaruh pada pembangunan perekonomian sebuah negara. Dimana memungkinkan pula untuk mengurangi angka pengangguran karena terciptanya lapangan pekerjaan baru.

Implementasi konsep dan sistem zakat dalam konteks pengurangan angka pengangguran setidaknya melalui tiga mekanisme.

Pertama dalam menjalankan implementasi zakat (penghimpunan, pengelolaan, distribusi) membutuhkan tenaga kerja (amil dan derivasinya). Bisa dilihat yaitu dalam bentuk berdirinya institusi-institusi pengelola dan zakat.

Kedua penyaluran dana zakat melalui sejumlah skema (charity maupun pemberdayaan) akan memberikan peningkatan kesempatan terhadap mustahik untuk mengakses sumber-sumber ekonomi. Dampaknya tentu meningkatnya angka partisipasi kerja di kalangan orang-orang yang selama ini terhambat, lemah atau kekurangan dalam hal ekonomi.

Ketiga adalah efek domino (multiplier effect) saat dana zakat itu sendiri sudah mewujud dalam bentuk program yang memungkinkan dibutuhkannnya sejumlah sarana pendukung dalam transaksi ekonominya.

Tentu semua hal itu tidak terjadi secara instan namun melalui sebuah proses simultan dan konsisten. Setidaknya jika sebuah pengelolaan zakat dalam suatu lingkup terkecil terlebih dahulu (kecamatan atau kabupaten/kota) dilakukan secara optimal, maka dampak tersebut bisa semakin lebih nyata.

Pembangunan ekonomi suatu pemerintah daerah tentu akan sangat berpengaruh bagi negara. Bukankah 95% lebih perekonomian Indonesia ditopang oleh UMKM? Dimana kehidupan ekonomi di desa, kabupaten atau kota tidak bisa dilepaskan dari denyut aktifitas UMKM.

Pembangunan sektor riil (UMKM) sendiri adalah hal yang fundamen bagi negara ini terlebih dalam menghadapi resesi atau guncangan ekonomi.

Lebih dari itu dalam konsepsi nilai ekonomi Islam terdapat larangan agar harta tidak melulu berputar di kalangan orang kaya semata (aghniya).

Jika suatu negara ekonominya dominan ditopang oleh sektor non-real (perdagangan uang, pasar modal, perbankan non-syariah dan lainnya) akan mudah secara langsung terguncang jika terjadi krisis ekonomi dunia. Namun dalam konteks ini, titik yang menjadi kritik tekannya adalah peredaran uang (harta) yang tidak pernah menyentuh ke sektor real.

Dimana diandaikan jika ada 20 triliun uang beredar di lantai bursa. Kemudian 80% dari jumlah tersebut terinvestasi dalam sejumlah perusahaan melalui pasar perdana, maka ada 4 triliun tersisa yang hanya melayang-layang. Artinya uang sejumlah itu tidak berdampak langsung terhadap kegiatan ekonomi secara luas.

Maka tidak salah jika pendayagunaan dana zakat melalui pembangunan dan pengembangan UMKM di desa-desa menjadi prioritas. Hal itu sekaligus menjadi bentuk kontribusi zakat terhadap pembangunan ekonomi negara.

Wallahu a’lam