Selamat datang di Situs Ensiklopedia Ekonomi Islam

Laku Sufistik dalam Homo Economicus

EKISPEDIA.COM – Satu sisi belahan dunia tampak indah dan berwarna namun pada sisi yang lain tampak hitam pekat dan sekarat. Keserakahan satu golongan adalah dampak dari tiadanya rasa kemanusiaan. Mustahil pemerataan kesejahteraan dalam kondisi pasar yang tak bermoral.

Dawam Raharjo menyebut bahwa etika bisnis salah satunya beroperasi pada sebuah sistem, yaitu ketika seseorang menjalankan kewajiban atau aktivitas berdasarkan pada etika tertentu. Sementara, masih menurutnya, bahwa banyak perilaku bisnis yang meninggalkan nilai moral, maksimalisasi keuntungan, individualitas, agresivitas persaingan bahkan manajemen konflik (Dawam Raharjo, 1995).

Maka ada benarnya jika Sayid Quthb, seperti yang dinukil oleh Prof. Quraish Shihab, bahwa aktivitas ekonomi merupakan entitas pertama yang menanggalkan etika (akhlak), diikuti politik dan terakhir seks.

Lantas bagaimana dengan manusia sebagai homo economicus (makhluk ekonomi) dalam perspektif Islam?

Homo economicus secara definitif dilandasi pemaknaan bahwa manusia bertindak untuk mencapai kesejahteraan setinggi mungkin demi dirinya sendiri. Dalam tinjauan Islam, sulit bahkan mustahil rasanya memisahkan nilai-nilai spiritual (baca: ajaran Islam) seorang muslim dalam menjalani macam ragam aktivitas kehidupan. Tidak terkecuali perannnya sebagai makhluk ekonomi.

Ekonomi Islam bukan hanya soal perilaku muamalah maliyah melainkan di dalamnya (inheren) melekat ajaran akhlak Islam. Dalam terminologi Islam, konteks akhlak diidentikan dengan ajaran tasawuf (sufistik).

Sejak semula Islam memang tidak mengenal dikotomi antara aspek jasmani dan ruhani. Artinya sistem ekonomi Islam di dalamnya penuh dengan nilai etika (akhlak) yang bersumber baik dari Quran, hadis maupun nasehat para sahabat dan ulama klasik.

Perbedaan yang paling mencolok antara ekonomi konvensional dengan Islam adalah adanya landasan aspek eskatologis, hari akhirat, kehidupan setelah mati. Hal itu mendorong perilaku ekonomi manusia menjadi penuh dengan spirit agama dimana di dalamnya terdapat mashlahat bagi masyarakat.

Mulai dari pelarangan mengurangi timbangan dimana hal itu sangat ditekankan dalam Quran, larangan riba, menumpuk harta berlebihan, hingga aspek kewajiban berbagi harta (zakat, infak, sedekah dan wakaf).

Anjuran bekerja mencari penghidupan dunia begitu diapresiasi oleh Rasulullah Saw. Beliau dalam beberapa hadis menekankan mulianya seseorang yang bekerja dari hasil tangannya, sahabat yang diberi modal untuk membeli kapak dan mencari kayu untuk dijual, atau tangan seorang sahabat yang kasar (karena bekerja) yang tidak akan tersentuh api neraka.

Di tengah dorongan dan kemuliaan mencari dunia, yang tidak kalah pentingnya bahwa Islam juga membenamkan nilai-nilai akhlak yang menjadi pengontrol. Dalam tradisi Islam ajaran-ajaran akhlak tersebut yaitu seperti qanaah, zuhud, sabar, syukur, larangan israf (berlebihan), ikhlas, ridha, hidup sederhana dan masih banyak lainnya, oleh para ulama dikenal juga sebagai laku tasawuf.

Imam al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah menukil penjelasan Sumnun ketika ditanya apa itu tasawuf. Ia menjawab “Janganlah memiliki sesuatu dan jangan pula dimiliki oleh sesuatu”.

Terlepas dari sekian banyaknya definisi tasawuf, setidaknya dalam konteks ucapan Sumnun tersebut, seorang muslim berangkat dari pandangan bahwa untuk tidak menjadikan dunia ini segala-galanya. Tidak merasa memiliki harta dan juga tidak dimiliki (diperbudak) oleh harta.

Dunia bukan tujuan melainkan hanya sarana untuk mendekat kepada Allah sekaligus mazratul akhirah (ladang akhirat). Sehingga sekali lagi rasanya mustahil untuk memisahkan ataupun mengingkari bahwa nilai sufistik tidak mempengaruhi aktivitas ekonomi seorang muslim.

Imam al-Ghazali sebagai ulama terkemuka dibidang tasawuf juga menyinggung sejumlah permasalahan ekonomi dalam salah satu karya magnum opusnya, Ihya’ Ulumuddin. Dimana al-Ghazali secara tersirat mensyiarkan bahwa pasar harus dilandasi dengan etika dan moral para pelakunya (penjual dan pembeli). Etika dan moral tersebut tentunya adalah etika sufistik sebagaimana menjadi kekhasan al-Ghazali. Sebagaimana imbauan moral juga menjadi semacam instrumen kebijakan moneter pada saat pemerintahan Umar bin Khatab r.a.

Max Weber dalam The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism meski mendakwahkan bahwa kerja keras adalah panggilan rohani dalam mencapai kesempurnaan hidup. Namun tidak diajarkan aspek “pengendali keinginan”, dalam proses bagaimana seorang manusia bekerja keras mencari keuntungan. Artinya ada pencampuran atau kekacauan antara kebutuhan, keinginan dan nafsu dalam tradisi ekonomi Barat yang tidak dipisahkan dan tidak perlu pula dikontrol sedemikian ketat.

John Hicks (1904-1989) memberikan definisi terkait perilaku konsumsi dengan menggunakan parameter kepuasan. Dimana individu akan selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktivitas konsumsi hingga titik kepuasan maksimal sesuai dengan tingkat pendapatannya. Efeknya tingkat pendapatan akan selalu dioptimalkan demi memenuhi konsumsi, investasi maupun tabungan untuk kepuasan dirinya. Sedangkan kepuasan diri tersebut cenderung dipengaruhi dan berdiri di atas motif ego, emosional, keinginan tanpa batas, maupun rasionalisme yang kesemuanya akan menjauhkan dari nilai altruisme (Veithzal & Antoni, 2012).

Dalam Islam, sebuah hadis jelas disebutkan bahwa naluri manusia akan selalu merasa kurang, jika ia memiliki satu lembah emas (dinar) maka akan meminta lagi lembah emas yang lain hingga kematian menjadi pembatas/akhirnya. Maka nilai-nilai pengekangan dan pengendalian atas hawa nafsu sebagai motif laku ekonomi menjadi penting, semisal melalui qana’ah, zuhud, muraqabah, tawakal ataupun ridha, serta yang lainnya akan berdampak pada kesejahteraan manusia itu sendiri.

Laku qana’ah yang dimaknai sebagai merasa cukup dengan apa yang dimiliki. “Tiada kekayaan tanpa qana’ah”, ucap Hamka sebagaimana ia menafsir dari ucapan para ulama.

Sikap tersebut tentu akan sangat kontradiktif dengan salah satu motif ekonomi kapitalis yang berkeinginan mencari dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya kekayaan harta atau keuntungan. Sikap muraqabah yakni selalu merasa diawasi oleh Allah akan menjadikan seseorang terdorong untuk menjauhi penipuan, curang, rekayasa pasar.

Laku zuhud tidak selalu dimaknai hidup dalam kemiskinan, melainkan juga bisa dimaknai meletakan harta pada tempatnya, bukan pada hati (qalbu). Selain itu juga akan menghindari hidup boros, menekan nafsu atas pengeluaran yang bukan kebutuhan.

Pemborosan adalah kejahatan, pun demikian dengan ketamakan dan keserakahan. Bukan hanya itu, zuhud akan menekan seseorang untuk menghindari hidup bermewah-mewahan dan berhutang, membeli barang mengikuti keinginan yang cenderung serba kredit. Sehingga zuhud berimplikasi menjadikan seseorang tidak perlu menumpuk kekayaan berlebihan. Sebaliknya, seseorang karena zuhudnya juga tidak akan bakhil dan kikir namun justru sangat suka berbagi dengan segala yang ia miliki kepada golongan yang berkekurangan.

Tentunya masih banyak etika sufistik (tasawuf) yang akan sangat mempengaruhi aktivitas manusia (muslim) dalam status dirinya sebagai makhluk ekonomi. Artinya sejumlah laku bernilai sufistik tersebut tidak bisa dianggap sepele atau dikaburkan perannya. Karena justru dari keyakinan nilai-nilai tersebutlah ekonomi Islam dapat berjalan sesuai jalurnya dan menjadi sistem yang rahmatan lil ‘alamin, bermanfaat bagi kemalsahatan manusia secara umum.

Semua nilai tersebut bermuara pada konsep tauhid dimana keyakinan bahwa semuanya dari Allah dan tujuannya juga karena Allah.

Wallahu a’lam