EKISPEDIA.COM – Islam menciptakan sejumah instrumen ekonomi yang memenuhi kemaslahatan masyarakat. Instrumen tersebut tidak hanya berbentuk atau mengatur ekonomi komersial namun juga ekonomi sosial. Yaitu berupa zakat, infak, sedekah dan wakaf yang saat ini sudah cukup populer di Indonesia.
Hadirnya sejumlah instansi pengelolaan zakat baik milik negara maupun swasta sangat berperan dalam mambantu kerja pemerintah di masyarakat, khususnya dalam ranah kesejahteraan ekonomi dan sosial.
Yusuf al-Qardhawi mengistilahkan entitas zakat bukan hanya soal sistem fiskal semata namun juga ada hubungannya dengan moral, politik dan sosial. Pandangan semacam itu adalah kewajaran mengingat dalam sejarah Islam sendiri zakat menempati posisi vital dalam proses sistem pemerintahan Islam.
Pendapatan Baitul Maal zaman Rasulullah Saw hingga para sahabat salah satunya yang terpenting adalah dari zakat. Dimana kemudian melalui dana tersebut dakwah sekaligus sistem pemerintahan bisa bekerja dengan maksimal.
Dalam perkembangan dunia modern ini, sistem ekonomi Islam seolah mendapat tantangan dari sistem-sistem ekonomi yang bermunculan.
Kapitalisme melalui para “nabinya” semisal Adam Smith, John Stuart Milt, atau David Ricardo menawarkan konsep kepemilikan individu dan nir-intervensi yang cenderung diunggulkan. Sebaliknya dari sistem tersebut akhirnya memunculkan Sosialisme sebagai lawan tanding yang diharapkan mampu menawarkan konsep kesejahteraan lebih baik.
Revolusi industri di Inggris dan Eropa pada umumnya, telah memunculkan dikotomi kelas yang oleh Karl Marx dipanggil sebagai Borjuis dan Proletar. Dikemudian hari, Marx berkesimpulan, sejarah peradaban manusia adalah sejarah perjuangan/pertentangan antar kelas. Sosialisme sendiri setidaknya justru menghendaki peran pemerintah yang dominan. Plus menasionalisasikan industri-industri besar strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Kedua sistem tersebut sayangnya tidak pernah menawarkan sebuah mekanisme khusus yang mampu menjembatani gap antara si kaya (aghniya) dan si miskin. Tujuan untuk menciptakan pemerataan pendapatan antar kelompok masyarakat tidak pernah dibahas atau diteorikan secara mendetil. Yang satu mengandalkan pasar bebas dan apresiasi kemampuan individual dengan harapan akan menciptakan kesejahteraan. Sedang yang kedua berkeyakinan bahwa peran negara (pemerintah) harus besar dan adil diwujudkan dengan kepemilikan publik dan penghapusan kebebasan hak individual. Namun mekanisme dalam konteks non-ekonomi komersil tidak pernah secara eksplisit diformulakan.
Islam dengan tafsir ekonominya bertindak seimbang (tawazun) dimana kepemilikan individu dihargai dan tidak menutup kemungkinan ada intervensi dari penguasa. Diantara kedua prinsip tersebut (kepemilikan individu dan publik), semua nantinya akan ada proses timbal balik terhadap kesejahteraan umat itu sendiri. Artinya ada batasan dalam hak milik individu yang berujung kewajiban pengeluaran harta atas nama agama. Sebaliknya pada kondisi tertentu penguasa memiliki wewenang sekaligus batasan. Dan semuanya tetap dalam landasan spiritual bahwa kesemuanya adalah milik Allah, sedang manusia hanyalah khalifah yang mendapat amanah.
Pada tahun 1929 di Amerika, jatuhnya bursa saham di New York mengakibatkan depresi bagi negara tersebut. Para penganut teori Keynes menyarankan agar masyarakat golongan kaya melakukan konsumsi yang tinggi, sehingga konsentrasi modal agar tidak mengendap di kalangan mereka. Tujuannya adalah agar terjadi “efek rembes” aliran dana dari para konglomerat dan golongan kaya kepada masyarakat yang terdampak. Namun efek rembes tersebut tentu melalui proses yang lama dan tidak ada jaminan bahwa harta tersebut pasti mampu menjadi pendorong ekonomi di kalangan warga miskin. Karena ada sejumlah variabel yang juga harus dikontrol dan dipastikan berjalan sesuai tujuan yang diharapkan.
Namun mekanisme zakat terlebih jika ditambah infak dan sedekah mampu mengatasi kendala tersebut. Artinya zakat seakan mampu menjadi shortcut efek rembes tersebut, memotong proses yang lama dan ketidakpastian pemerataan.
Konsep zakat akan memastikan bahwa golongan fakir miskin menjadi prioritas (melalui prinsip asnaf) yang akan menikmati aliran dana para aghniya tanpa melalui proses panjang.
Meski nominal zakat secara proporsi lebih kecil dibanding pajak di era modern, setidaknya bisa dipastikan bahwa efek redistribusi zakat lebih efektif. Mengingat ada kaidah asnaf maupun fikih yang menjadi pedoman sekaligus rambu untuk mengontrol berjalannya sistem tersebut.
Dengan kata lain dalam konsepsi zakat ada tawaran titik temu yang canggih antara pihak surplus muslim dengan yang defisit (mustahik).
Niatnya bukan semata-mata dunia seperti pemerataan, stabilitas ekonomi atau lainnya, namun Islam lebih menekankan bahwa ada pahala (atau istilah lain falah) dari Allah yang berlipat-lipat serta lebih baik.
Maka pada titik itulah dibutuhkan juga intitusi pengelola zakat yang profesional baik secara syariah (fikih) maupun non-syariah (kapasitas teknis, manajemen, strategi dan lainnya). Zakat adalah bagian dari dimensi profetik Islam yang berbicara soal kesetaraan ekonomi dan distribusi kekayaan secara adil dan solutif.