EKISPEDIA.COM – Gagasan ataupun ide tentang ekonomi Islam hanyalah menjadi wacana semata jika itu tidak di implementasikan dalam kehidupan nyata.
Ekonomi Islam saat ini sudah semestinya masuk dalam ranah politik ekonomi, yang mana tujuannya agar menjadikan ekonomi Islam sebagai bagian dari arus utama arah kebijakan negeri ini. Memiliki jumlah penduduk kaum muslim sekitar 237 juta jiwa tentunya ini menjadi kewajiban bagi para pegiat ekonomi Islam untuk memasuki dunia politik.
Sejak tahun 90-an hingga saat ini masyarakat kita umumnya mengenal ekonomi Islam hanya seputar permasalahan keuangan, seperti perbankan syariah. Hal ini bermula saat pendirian Bank Muamalat di tahun 1991. Maka tidak heran jika ditanya tentang ekonomi Islam yang ada di benak umumnya masyarakat kita adalah Bank Syariah.
Padahal tidak demikian, justru ekonomi Islam sejak tahun 50an sudah menjadi diskursus yang dimulai oleh Kahrudin Yunus, tokoh ekonomi Islam pertama pasca kemerdekaan melalui pendekatan ekonomi-politik dalam bukunya yang berjudul Sistem Ekonomi Bersamaisme yang berjumlah 2 jilid. Namun sayangnya tidak ada yang melanjutkan pemikirannya saat itu.
Ekonomi politik ini sangat penting dan dapat mempengaruhi paradigma pengambil kebijakan. Oleh karena itu, pendekatan ekonomi politik Islam ini sangat penting untuk dilaksanakan. Karena berbasis nilai-nilai keislaman didalamnya.
Berbicara ekonomi tentu yang menjadi sasarannya adalah kesejahteraan suatu bangsa, persoalan kesejahteraan bangsa ini dapat dilaksanakan melalui instrumen kebijakan, yang mana instrumen kebijakan ini tidak ada yang “bebas nilai”.
Kebijakan itu selalu dipengaruhi oleh nilai tertentu, nilai inilah yang kemudian mempengaruhi cara berfikir yang akan berdampak pada tindakan yang diambil. Oleh karenanya, nilai-nilai dari ekonomi Islam ini hendaknya masuk dalam instrumen kebijakan ekonomi, yang mana tujuan dari ekonomi Islam itu sendiri adalah tercapainya kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Indonesia sejak masa orde lama dan orde baru telah mencoba menggunakan dua sistem ekonomi besar pada waktu itu, seperti sistem ekonomi sosialisme (orde lama) dan kapitalisme (orde baru). Namun pada praktiknya, kedua sistem ini telah terbukti gagal dalam sejarah.
Kahrudin Yunus sendiri ditahun 1955 telah menjelaskan betapa buruknya kedua sistem ekonomi tersebut dalam membangun kesejahteraan masyarakat. Masing-masing dari sistem ekonomi itu (sosialis dan kapitalis) hanya mementingkan kesejahteraan kelompok mereka saja yakni para saudagar atau kita mengenalnya dengan sebutan oligarki.
Kita juga melihat akhir-akhir ini hampir semua kebutuhan pokok menjelang Ramadhan harga pada naik, dimulai dengan kasus penimbunan minyak goreng yang berujung pada penentuan harga yang diserahkan ke mekanisme pasar dan ketika harga mengikuti mekanisme pasar, jumlah stok barang kian banyak dan harga menjadi naik. Tentu ini menjadi keuntungan tersendiri bagi para penimbun minyak goreng tersebut. Disinilah benih-benih kapitalis masih ada dalam ekonomi kita.
Seharusnya jika terjadi kasus seperti ini, pemerintah semestinya berperan sebagai pemegang mandat rakyat yang berfungsi mengintervensi penentuan harga pasar, bahkan bisa mengambil alih sistem produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Sebagaimana tujuan dari Pasal 33 UUD 1945 di kutip dari dpr.go.id adalah untuk menjunjung tinggi demokrasi dan juga menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Namun, hingga saat ini menteri perdagangan belum berani untuk mengungkapkan siapa dalang dibalik semua ini. Tentunya sebagai pemegang kekuasaan, hal demikian tidaklah sulit jika memang benar dalam menjalankan tugasnya, mengingat semua instrumen kebijakan ada pada pemegang kekuasaan.
Akan tetapi, Ini akan menjadi kendala dalam proses pengambilan kebijakan politik ekonomi jika pada pemilihan raya justru mereka (oligarki) yang memenangkan pemimpin negara. Maka mereka yang akan mengontrol instrumen-instrumen kebijakan ekonomi di negara tersebut.
Kebijakan Ekonomi Sektor Rill (ekspor-impor)
Tugas dari dakwah ekonomi Islam ini mencakup tiga hal, yakni terkait Zakat, Infak, Wakaf, Sedekah (Ziswaf), Lembaga Keuangan yang bebas Riba, dan Ekonomi Sektor Rill (ekspor – impor).
Dari ketiganya ini, para pegiat ekonomi Islam sangat jarang sekali membahas terkait poin ketiga ini, yakni ekonomi sektor rill (ekspor-impor), ini kaitannya dengan ekonomi politik. Padahal, ini sangat besar dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat jika benar-benar dilaksanakan sesuai nilai-nilai Islam.
Jika kita melihat kebijakan ekonomi pada sektor rill (ekspor-impor), pemerintah saat ini telah mengesahkan omnibus law, ini berarti kita telah mengadopsi rezim pasar bebas yang mana bisa saja ini mengancam kedaulatan petani dan pangan nasional.
Kemudahan impor pangan semakin dibuka lebar dan sanksi pidana bagi pelaku usahapun juga dihapuskan seperti dalam pasal 101 UU Perlintan yang di Omnibus Law telah diubah dan dihapuskan terkait pemidanaan terhadap pelaku usaha yang mengimpor pangan saat komoditas pangan domestik terpenuhi.
Hal ini tentu akan menjadi dampak buruk bagi keberlangsungan petani dan pangan Nasional, dikarenakan tidak adanya jaminan perlindungan bagi petani oleh negara. Bahkan, hak-hak para petani semakin dilemahkan di era pasar bebas ini.
Disinilah seharusnya para pegiat ekonomi Islam masuk ke ranah politik ekonomi, agar dapat ikut serta dalam merumuskan instrumen – instrumen kebijakan yang mendukung kesejahteraan rakyat dalam negeri, tidak hanya fokus pada perkembangan lembaga keuangan saja seperti yang selama ini dilakukan.
Wallahu a’lam