Selamat datang di Situs Ensiklopedia Ekonomi Islam

Krisis Ekonomi 2023 dan Filantropi Islam: Tantangan Lembaga Filantropi Islam (Bagian Akhir)

EKISPEDIA.COMFilantropi Islam merupakan salah satu aspek dalam ekonomi Islam yang memiliki sejarah panjang. Kehadirannya mampu menjadi penopang perkembangan ekonomi Islam. Beragam keberhasilan telah menjadi catatan manis khususnya ekonomi Islam.

Disisi lain, berbagai tantangan dalam dinamika filantropi Islam juga menghiasi setiap masa yang dilewati. Mengutip sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa sejarah akan terulang, maka beragam keberhasilan dan tantangan perjalanan filantropi Islam patut dicermati dengan baik agar filantropi Islam semakin mendekati tujuannya.

Dalam artikel sebelumnya (bagian 1 dan 2), peran filantropi Islam di era sekarang tidak dapat dipandang sebelah mata. Meskipun fungsinya tidak lagi menjadi pilar utama dalam pembangunan negara, akan tetapi filantropi Islam terus memberikan perannya. Filantropi Islam mampu menjadi bagian dalam pembangunan negara khususnya ekonomi baik secara makro maupun mikro. Selain itu, filantropi Islam juga mampu berperan dengan meningkatkan kinerja perbankan syariah. Hal ini penting karena di era sekarang, lembaga perbankan merupakan tulang pungung perekonomian.

Ke depannya, dinamika perekonomian masyarakat semakin komplek. Sehingga dibutuhkan berbagai macam strategi oleh pemangku kebijakan agar masyarakat lebih mampu menghadapi setiap dinamika yang terjadi, tak terkecuali lembaga filantropi Islam. Kehadiran lembaga filantropi Islam selalu dinantikan khususnya oleh masyarakat menengah kebawah. Maka dari itu, lembaga filantropi Islam diharapkan terus berkembang mengikuti dinamika yang ada agar manfaatnya selalu dirasakan oleh masyarakat yang membutuhkan.

Hal ini juga tidak terlepas dari strategi penguatan global halal hub yang dirancang oleh Pemerintah Indonesia. Mengutip berita dari Antaranews.com (6 Oktober 2022), bahwa pemerintah sedang merubah posisi pasar halal di Indonesia dari penonton menjadi pemain dan dari konsumen menjadi produsen. Saat ini, ketergantungan produk halal Indonesia terhadap luar negeri masih besar. Sehingga semakin memperkuat bahwa keterlibatan lembaga filantropi Islam dalam meningkatkan kegiatan produktif sangat dibutuhkan.

Memang tidak mudah bagi lembaga filantropi Islam untuk mengambil peran tersebut. Berbagai tantangan masih dihadapi oleh lembaga filantropi Islam. Salah satu tantangan tersebut adalah kepercayaan. Bahkan problematika kepercayaan masyarakat terhadap pengelola filantropi Islam sudah muncul pada masa khulafaur rasyidin. Krisis kepercayaan pada masa ini langsung disandarkan pada khalifah atau pemimpin negara.

Kepercayaan masyarakat kepada negara atau pengelola lembaga filantropi Islam merupakan hal penting dalam menentukan kepatuhan pembayaran dan jumlah pengumpulan dana (Sargeant & Lee, 2002). Semakin besar kepercayaan masyarakat maka kepatuhan pembayaran akan tinggi, bahkan akan mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama. Untuk itu faktor-faktor yang mampu menciptakan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap negara atau lembaga filantropi Islam harus dipertimbangkan dalam mengelola lembaga (Abioye et al., 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Owoyemi (2020) mengungkapkan bahwa krisis kepercayaan yang berpengaruh terhadap kepatuhan membayar zakat kepada negara atau lembaga pengelolanya dimulai pada masa pemerintahan Khalifah keempat. Krisis ini muncul selepas peristiwa terbunuhnya Khalifah ketiga, Utsman bin Affan. Pada masa sebelumnya, krisis kepercayaan tidak ditemukan karena pengelolaan yang ketat baik dari segi pengumpulan maupun pendistribusian.

Bahkan Rasulullah mengecualikan dirinya dan keluarganya untuk mengambil harta yang bersumber dari zakat. Hal ini dilakukan sebagai jaminan agar Rasulullah SAW dan keluarganya terbebas dari tuduhan penggelapan atau pengambilan harta zakat yang tidak semestinya. Hal ini juga diikuti oleh pemimpin selanjutnya mulai dari Khalifah pertama hingga ketiga.

Krisis kepercayaan yang muncul pada masa khalifah keempat dipicu oleh perpecahan antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Perpecahan ini memicu kebingungan di masyarakat tentang kepada siapa zakat harus dikeluarkan (Hasanuzzaman, 1989). Bahkan selepas terbunuhnya Ali dan kepemimpinan beralih kepada Muawiyyah, krisis kepercayaan semakin meningkat yang dipicu oleh dua hal, yaitu perpecahan yang mendalam dan gaya hidup mewah pemimpin dan pegawai negara yang berbeda dari pendahulunya.

Dari peristiwa inilah muncul dua sikap di masyarakat terkait penyaluran pembayaran zakat. Terdapat sikap di masyarakat yang mengambil pilihan untuk menyalurkan zakatnya langsung kepada fakir miskin dan yang membutuhkan tanpa melalui perantara negara atau lembaga pengelola. Bagi masyarakat yang tetap menyalurkan pembayaran zakat kepada negara dengan berkeyakinan jika dana zakat yang telah dibayarkan tidak disalurkan sesuai dengan ketentuan yang ada, maka dosa ditanggung oleh para pemimpin negara.

Artikel ini tidak membahas lebih jauh terkait keabsahan penyaluran zakat langsung kepada penerimanya. Akan tetapi, berdasarkan peristiwa tersebut menunjukkan bahwa masalah kepemimpinan sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap negara dan pengelola lembaga zakat. Kepercayaan tersebut sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan filantropi Islam.

Seiring meluasnya wilayah persebaran agama Islam, maka pendapatan negara yang bersumber dari harta Baitul maal tidak mampu memenuhi semua kebutuhan tersebut. Selain itu, negara juga dihadapkan pada basis ekonomi yang berbeda-beda dimasing-masing wilayah. Sehingga diperlukan sumber pendapatan baru seperti pajak. Salah satu hal yang mendorong sikap ini adalah kurang jelasnya batasan-batasan dalam Al-Qur’an terutama yang berkaitan dengan fiskal (Kuran, 2020). Kurangnya batasan tersebut menyebabkan banyak interpretasi. Sehingga sistem zakat mulai terlihat seperti sistem pajak modern di Amerika yang memiliki banyak celah dan bersifat regresif.

Pada masa Ummayah dan Abbasiyah kemajuan pada sistem pajak berkembang pesat (Kuran, 2020). Peran zakat dalam kebijakan fiskal semakin tergantikan dengan sistem baru tersebut. Bahkan dapat dikatakan bahwa pendapatan negara diperoleh seluruhnya dari pajak. Dalam sebuah risalah yang terkenal dari Al-Māwardī (1996), penolakan pembayaran zakat oleh masyarakat kepada pemerintah Abbasiyah merupakan hal yang biasa.

Kondisi ini terus berlanjut hingga penguasa selanjutnya seperti Fatimiyah Mesir (909-1171) dan Mamluk Mesir (1250-1517). Pada masa ini zakat dianggap sebagai masalah hati nurani pribadi untuk setiap orang yang percaya. Hal ini tentu bertolak belakang dengan masa para sahabat yang memerangi individu atau kelompok masyarakat yang enggan membayar zakat.

Perubahan paradigma dari sebuah kewajiban yang harus ditunaikan menjadi permasalahan hati nurani tentu memberikan konsekuensi besar. Masyarakat yang tidak percaya tentu akan enggan membayar zakat. Sedangkan masyarakat yang masih percaya adanya konsep zakat, maka akan menggunakan berbagai cara agar kewajiban zakat tidak jatuh kepadanya.

Tampaknya permasalahan-permasalahan tersebut juga dihadapi pengelola lembaga filantropi Islam saat ini. Mulai dari krisis kepercayaan akibat masalah kepemiminan dan kualitas manajemen yang rendah, banyaknya masyarakat yang memilih menyalurkan langsung tanpa melibatkan lembaga hingga rendahnya kepatuhan akibat perubahan paradigma.

Permasalahan di atas merupakan permasalahan dari sisi pengumpulan. Disisi lain, lembaga filantropi Islam masih dihadapkan pada permasalahan di sisi pendistribusian. Terlepas dari belum dibahasnya permasalahan dari sisi pendistribusian, masalah pengumpulan merupakan permasalahan penting yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Ada dua hal yang mendasari, pertama, lembaga filantropi Islam harus merubah kembali paradigma kepatuhan masyarakat tentang zakat dari masalah hati nurani menjadi sebuah ibadah yang harus ditunaikan. Kedua, semakin tinggi tingkat pengumpulan, maka semakin besar peran yang bisa diambil oleh lembaga filantropi Islam dalam menyelesaikan permasalahan di masyarakat khususnya yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.

Referensi:

  1. Abioye, M. M. O., Har, M., & Mohamad, S. (2011). Antecedents of Zakat Payers’ Trust: The Case of Nigeria. International Journal of Economics, Management and Accounting, 19(3), 1–24.
  2. Al-Māwardī, A. al-H. A. b. M. b. H. (1996). The ordinances of government: a translation of al-Aḥkām al-sulṭāniyya wʾ al-wilāyāt al-dīniyyat.
  3. Hasanuzzaman, S. M. (1989). S.M. Hasanuzzaman : The Economic Functions of the Early Islamic State. Journal of King Abdulaziz University-Islamic Economics, 1(1), 135–141. https://doi.org/10.4197/islec.1-1.8
  4. KNEKS: Indeks literasi ekonomi syariah Indonesia 23,3 persen di 2022
    https://www.antaranews.com/berita/3162845/kneks-indeks-literasi-ekonomi-syariah-indonesia-233-persen-di-2022
  5. Kuran, T. (2020). Zakat: Islam’s missed opportunity to limit predatory taxation. Public Choice, 182(3–4), 395–416. https://doi.org/10.1007/s11127-019-00663-x
  6. Owoyemi, M. Y. (2020). Zakat management: The crisis of confidence in zakat agencies and the legality of giving zakat directly to the poor. Journal of Islamic Accounting and Business Research, 11(2), 498–510.
    https://doi.org/10.1108/JIABR-07-2017-0097
  7. Sargeant, A., & Lee, S. (2002). Improving public trust in the voluntary sector: an empirical analysis. International Journal of Nonprofit and Voluntary Sector Marketing, 7(1), 68–83.
    https://doi.org/10.1002/nvsm.168