Menghadapi Krisis Ekonomi Global 2023 dengan Economic Shifting Behavior

Menghadapi Krisis Ekonomi Global 2023 dengan <i>Economic Shifting Behavior</i>
Foto: Ekispedia

EKISPEDIA.COM – CNN bisnis memprediksi bahwa pada masa spring antara bulan Maret-Mei tahun 2023 mendatang, kondisi perekonomian dunia di awali dari Amerika Serikat akan jatuh seperti style resesi pada pertengahan tahun 1990-an (Egan, 2022).

Presiden Jokowi sendiri telah mengingatkan pada akhir September lalu bahwa perekonomian Indonesia akan cukup ‘gelap’ di tahun 2023 akibat dampak dari resesi global. Banyak para pengamat ekonomi juga mengaminkan kondisi ini sebagai kondisi yang akan menghantui dunia pada tahun depan.

Salah satu indikator utama yang menunjukkan kondisi ini adalah terjadi lonjakan inflasi di beberapa negara maju dan berkembang, bahkan di Amerika Serikat tingkat inflasi telah mencapai angka tertinggi sejak hampir lima dekade terakhir yakni 9,1% pada bulan Juni 2022 yang merupakan angka tertinggi sejak 41 tahun yang lalu. Contoh lain, negara Turki yang dekat dengan posisi dua negara yang saat ini sedang berperang yakni Ukraina dan Rusia bahkan mencapai 78,62% dan tercatat sudah 24 tahun negara tersebut tidak mencapai angka setinggi tahun 2022 (CNN Indonesia, 2022).

Kondisi ini tampaknya akan terus berlanjut hingga puncak krisis yang diprediksi oleh banyak media dan ekonom pada pertengahan tahun depan. Dampak domino dari kondisi pandemi covid global serta kondisi ketidakstabilan negara-negara penghasil energi dunia termasuk perang yang terjadi antara Ukraina vs Rusia dianggap sebagai salah satu fenomena utama yang menjadi pemicu kondisi ini.

Namun demikian, perilaku negara-negara besar yang tercatat melakukan aktivitas penciptaan uang (money creation) dengan melakukan printing money yang tinggi maupun aktifitas quantitative easing yang mengakibatkan bertambahnya jumlah uang beredar tanpa disertai menyelesaikan problematika perputaran ekonomi riil juga dianggap menjadi salah satu starting policy yang menstimulus krisis yang akan datang.

Per tanggal 6 September 2022 di US saja tercatat bahwa nilai likuiditas bank sentralnya mencapai nilai 8,82 triliun US Dollar (Statita.com, 2022). Berdasarkan perspektif tujuan, kebijakan ini memang memiliki goals yang baik yakni menambah supply uang di tengah kondisi mobilitas yang terhambat dalam rangka meningkatkan daya beli masyarakat yang stagnan di suatu tempat dikarenakan kebijakan lockdown. Padahal, ibarat dua sisi mata uang, sesuai dengan teori dan studi ekonomi yang ada, keberadaan money supply yang terus bertambah juga akan mengakibatkan nilai harga barang meningkat drastis atau dengan kata lain memicu terjadinya inflasi serius, inilah yang saat ini sedang dirasakan oleh negara-negara yang melakukan aktivitas money creation baik dengan quantitative easing maupun printing money tersebut. Meskipun beberapa studi memang mencoba membantah logika ini, namun secara faktual kondisi inflasi itu telah dirasakan saat ini dan secara tren tetap mengarah pada apa yang ditakutkan oleh para ekonom.

Penyebab fundamental lain adalah kebijakan ekonomi konvensional yang berangkat dari teori ekonomi kapitalisme berbasis ribawi yakni kebijakan menaikkan suku bunga perbankan yang dianggap akan mampu mendorong dan merubah perilaku investasi sementara permasalahan utama kebijakan seperti ini yaitu kesenjangan teori dengan keadaan kondisi rill perekonomian yang dirasakan oleh masyarakat.

Menurut worldbank bahwa bank sentral di berbagai bagian dunia telah meningkatkan nilai suku bunga dengan tingkat yang bahkan tidak pernah terjadi lebih dari lima dekade dengan tujuan untuk mengatasi problematika ekonomi dan akan berlanjut di tahun mendatang (Worldbank, 2022). Sementara interest base solution ini dalam pandangan ekonom muslim justru merupakan salah satu penyebab utama terjadinya krisis ekonomi, itulah kenapa kondisi krisis ini jika diteliti lebih dalam juga merupakan kejadian yang bersifat siklikal dan akan terus berulang selama sistem ekonomi global mengadopsi sistem ekonomi konvensional yakni kapitalisme berbasis riba. (Adam, 2020).

Secara filosifis, dalam sudut pandang seorang muslim, fenomena apapun yang telah maupun akan terjadi pasti memiliki alasan. Kausa fundamental yang dijelaskan oleh Al-Qur’an adalah penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri baik dari aspek pemikiran maupun perilaku dalam kehidupan.

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (dampak) perbuatan mereka. Semoga mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S Ar-Rum ayat 41)

Secara i’tiqady dalam ruang lingkup ekonomi Islam yang berbasis nilai keimanan, sebenarnya kaum muslimin tidak perlu khawatir dengan kondisi berat perekonomian jika memang merujuk pada konsep dan aturan-aturan yang telah Islam tetapkan, karena masalah tersebut seharusnya menjadi dasar kontemplasi untuk kembali kepada sistem yang berbasis pada nilai ketaatan dan setiap bentuk ketaqwaan dan ketaatan termasuk dalam ruang lingkup ekonomi selalu menghantarkan pada jalan keluar dan kelapangan dari setiap kesempitan (Q.S Ath Thalaq: 2-3).

Salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk menghadapi krisis secara fundamental adalah shifting behaviour. Bentuk-bentuk langkah perubahan perilaku yang bisa dilakukan: Pertama, meninggalkan larangan-larangan muamalah yang mendorong dan memicu terjadinya kerusakan maupun penyimpangan. Dalam ekonomi Islam, larangan utama yang harus ditinggalkan adalah sistem ribawi. Riba dalam khazanah studi ekonomi Islam sangat diyakini menjadi penyebab fundamental berbagai krisis ekonomi (Anjum, 2021) penyebab dan pemicu bahkan menjadi salah satu penyebab utama yang menjadi stimulus terhadap krisis ekonomi (Fitrah dkk, 2022).

Kedua, merubah perilaku dalam rangka meningkatkan dan memperkuat aktivitas ekonomi dalam sektor riil khususnya konsumsi dan investasi, hal ini didasari bahwa kekuatan ekonomi dalam ekonomi Islam bukan berangkat dari kuantitas barang dan jasa serta kuantitas uang beredar, namun berangkat dari kualitas peredaran uang itu sendiri yang harus sehat.

Sebagai ilustrasi, jika selembar uang Rp.1.000,- di tengah masyarakat berpindah dan beredar sebanyak 100 kali secara riil dalam sehari dari tangan ke tangan, maka sesungguhnya nilai ekonomi uang tersebut adalah Rp. 100.000,- namun dibandingkan selembar uang Rp. 100.000,- yang tidak berpindah sama sekali maka sesungguhnya uang tersebut tidak memiliki nilai ekonomi riil.

Maka jika dasar utama krisis dalam ekonomi kapitalisme yang berulang lebih banyak disebabkan dari spekulasi yang muncul dari sektor non riil yang berdampak pada psikologi sektor riil, maka perubahan perilaku yang berfokus pada ekonomi-ekonomi riil menjadi salah satu alternatif perubahan yang harus dilakukan.

Meskipun demikian, solusi utama krisis yang sifatnya makro memang seharusnya menjadi tugas negara sebagai penanggung jawab kolektif masyarakat mengingat ekonomi merupakan bagian kehidupan yang melibatkan seluruh masyarakat dan stakeholder baik individu, pengusaha, organisasi hingga negara sebagai pemegang kunci berbagai kebijakan. Pada akhirnya, kekuatan politik ekonomi sebuah negara dengan berbagai kebijakan yang mendukung pengembangan ekonomi Islam dari setiap aspek termasuk perubahan perilaku masyarakat dari kapitalistik-individualis menjadi Islami yang madani menjadi sebuah keharusan.

Pada akhirnya, shifting behaviour fundamental harus dilakukan dan beranjak dari capitalism behaviour menuju Islamic behaviour untuk mempersiapkan datangnya kondisi yang disebut ‘gelap’ di tahun mendatang. Meskipun resesi akan terus berulang secara sistemik, tugas kita adalah berjuang merubah pola pikir dan pola sikap individu sembari terus melakukan perubahan menuju arah sistem ekonomi yang lebih stabil yakni sistem dan perilaku ekonomi Islam.

An Islamic Economic Activist, Associate Wealth Planner (AWP), Graduated From Department of Islamic Banking and Finance STEI HAMFARA Yogyakarta, Graduated from Magister of Islamic Economic Sciences Airlangga University concentrated on Islamic Economic, Awardee of LPDP Scholarship 2018.

BACAAN LAINNYA: