EKISPEDIA.COM – Pemerintah saat ini tengah dalam trend mendorong dunia perwakafan, salah satunya melalui gerakan wakaf tunai yang bahkan langsung digencarkan oleh presiden sendiri. Kesadaran tersebut tidak bisa dilepaskan dari potensi wakaf uang di tanah air yang begitu besar. Data terbaru menunjukan potensi khusus wakaf uang di Indonesia mencapai Rp 180 triliun sedangkan realisasinya baru tercapai Rp 860 miliar (Republika, 2022).
Wakaf sebagai salah satu aspek keuangan sosial Islam menjadi instrumen yang begitu “seksi”. Hal itu selain karena kemampuannya mengintegrasikan tiga domain sekaligus yakni spiritual, ekonomi dan sosial, juga karena potensinya yang besar. Terlebih dalam sejarah Islam sendiri banyak aset ekonomi, pendidikan, pelayanan sosial dan kesehatan bertumpu pada wakaf. Namun di era modern khusunya di Indonesia, implikasi wakaf terhadap kesejahteraan masyarakat nampak melemah atau setidaknya belum optimal dari seharusnya.
Dari faktor regulasi sudah ada usaha perbaikan. Selain karena faktor regulasi, kapasitas nadzir juga sangat mempengaruhi kinerja penghimpunan wakaf tunai (Khotimah, 2021). Profesionalitas nadzir mencitrakan performa institusi pengelola wakaf, karena di dalamnya nadzir memainkan fungsi akuntabilitas, transparansi dan manajemen. Semakin baik kapasitas nadzir maka akan berdampak pada ketiga aspek tersebut. Pada gilirannya aspek kelembagaan pengelola wakaf (nadzir kelembagaan) yang baik di mata masyarakat akan meningkat dan mampu mengoptimalkan potensi wakaf uang yang sedemikian besar (Hasim, et.al., 2016).
Persepsi pemilihan institusi nadzir di masyarakat selain mempertimbangkan transparansi dan akuntabilitas juga erat kaitannya dengan kemampuan mendesain program yang inovatif (Rusydiana, 2018). Sehingga tidak berkutat pada masjid, madrasah dan makam. Nadzir dituntut dapat mengelola aset wakaf baik tunai maupun non-tunai menjadi program yang menghasilkan manfaat optimal, salah satunya pentingnya kemampuan tentang instrumen investasi keuangan syariah maupun kemitraan dengan pihak ketiga melalui akad-akad syariah. Nadzir juga harus dibekali dengan kemampuan mitigasi resiko investasi (Ilyas, 2017) sebagai bagian dari kompetensi nadzir di era modern guna meminimalisir munculnya kerugian.
Kompetensi sumber daya manusia dalam pengelolaan wakaf (nadzir) dan kepercayaan dalam beberapa literatur ilmiah hampir selalu menjadi bagian dari faktor penyebab kurang berkembangnya wakaf di Indonesia, lebih-lebih wakaf produktif (Safitri, et.al., 2021). Peningkatan kompetensi SDM/nadzir artinya juga peningkatan kepercayaan keduanya saling terkait (Rusydiana, et.al., 2018).
Pemerintah melalui BWI maupun Kemenag sudah seharusnya bukan hanya mendorong sertifikasi nadzir, namun juga perlu mengadakan atau bahkan mendirikan institusi pelatihan nadzir (akademi nadzir) yang komprehensif secara intensif dan masif. Jika pun hari ini sudah ada pelatihan semacam itu, tampakya masih kurang terdengar gaungnya dari segi sosialisasi maupun kualitas.
Pelatihan dalam peningkatan kompetensi nadzir bukan hanya menekankan pengetahuan aspek syariah semata namun juga dibekali dengan pengetahuan aspek manajerial keuangan dan bisnis. Program tersebut dapat bermitra dengan pihak swasta yang kompeten di bidannya. Sehingga Good Nadzir Governance tidak hanya dimaknai tercukupinya aspek transparansi dan akuntabilitas tapi juga aspek kapabilitas pengelolaan wakaf secara produktif. Hal itu diharapkan mampu mendorong percepatan pengembangan wakaf di Indonesia ke arah yang lebih produktif dan ujungnya mampu berkontribusi besar bagi kesejahteraan masyarakat.
Wallahu a’lam